Kedua, kita dipimpin oleh gerombolan bandit. Mereka yang menguasai industri ekstraktif hanya untuk mengeruk keuntungan pribadi dan kelompoknya.
Coba pikir. Negara dengan hutan rusak seharusnya punya cadangan devisa yang besar. Negara yang mengekspor nikel, sawit, batu bara, dan kayu seharusnya bebas dari jerat utang. Negara yang mengizinkan deforestasi seharusnya sedang menabung untuk masa depan, bukan menghancurkannya.
Tapi data berbicara lain. Justru utang menumpuk, fiskal seret, defisit membesar, dan ketergantungan impor pangan makin menjadi. Sementara hutan yang dulu menjadi penjaga terakhir tanah ini kini hanya tinggal nama di peta. Di bumi nyata, ia sudah sirna.
Bandit mengambil kayu. Mereka mengambil tanah. Mereka merampas kuasa. Dan rakyat? Diberi banjir, longsor, dan daftar panjang statistik korban.
Maka, jika bangsa ini tidak mau dicap tolol, sudah waktunya bertanya. Dengan suara lantang yang tak bisa lagi dibungkam.
Siapa sebenarnya yang selama ini mengambil untung dari kehancuran ekologi Indonesia?
Dan siapa yang membiarkan negara ini terperosok dalam utang, sementara hutan-hutannya musnah satu per satu?
Kalau kita tidak segera mencari jawabannya, tanah yang tersisa akan menjawab dengan caranya sendiri: lewat bencana yang datang silih berganti, semakin brutal.
Kita bisa saja berdalih, "Ah, Indonesia akan baik-baik saja. Dari dulu juga begitu."
Tapi jika itu yang kita pikirkan, berarti kita ini generasi terburuk. Sama buruknya dengan generasi sebelumnya, yang hanya mewariskan kebodohan dan kerusakan untuk anak cucu.
(")
Artikel Terkait
Prabowo Tegaskan Penertiban Pembalakan Liar Usai Tinjau Bencana Aceh
Dua Tersangka Wedding Organizer Raup Rp 11,5 Miliar untuk Gaya Hidup Mewah
Hujan Deras Tak Halangi UIN Jakarta Kumpulkan Rp2,8 Miliar untuk Korban Sumatra
Uang Tipuan Calon Pengantin Dihamburkan untuk Cicil Rumah hingga Libur ke Luar Negeri