Oleh: Erizal
"Piye kabare, enak zamanku to?" Kalimat itu sudah jadi semacam meme politik. Biasanya muncul ditemani foto Soeharto yang tersenyum. Seolah mengajak kita membandingkan: mana yang lebih baik, zamannya dulu atau sekarang? Pasca lengsernya Soeharto dan bergulirnya Reformasi, banyak yang merasa zaman sekarang tak lagi memberi stabilitas dan kesejahteraan seperti dulu. Intinya, dianggap lebih buruk.
Maka, slogan itu pun lahir. Ia menjadi tanda kerinduan atau setidaknya klaim kerinduan akan masa Orde Baru. Tentu saja, yang paling getol mengusungnya adalah pihak-pihak yang punya kepentingan mengembalikan kekuatan politik ala Soeharto. Mereka ingin bangkit. Tapi pada kenyataannya, upaya itu boleh dibilang mentok. Tak pernah benar-benar membuahkan hasil.
Coba lihat saja. Sudah berapa partai politik yang didirikan dengan mengusung nama besar Soeharto sebagai simbol? Dari pemilu ke pemilu pasca 1998, tak satu pun dari partai itu mendapat dukungan signifikan. Bahkan ketika langsung dipimpin oleh anak-anaknya, seperti Tommy atau Tutut Soeharto, tetap saja gagal melenggang ke Senayan.
Nah, belakangan ini muncul kecenderungan baru. Mantan Panglima TNI Gatot Nurmantyo pernah mengungkapkannya. Slogan "piye kabare" itu, katanya, akan dipakai lagi. Tapi simbolnya bukan lagi Soeharto. Melainkan Jokowi. Polanya tentu disesuaikan dengan konteks kekinian.
Kalau dulu, slogan itu menargetkan "zaman" secara umum era Reformasi dianggap gagal. Sekarang, sasarannya mungkin bukan zamannya. Zaman Jokowi dan Prabowo kan relatif berkesinambungan. Lalu siapa yang jadi sasaran? Bisa jadi Prabowo sendiri. Inilah yang membuat analisis Gatot menarik sekaligus rentan disalahpahami.
Pendukung Jokowi bisa saja menuding ini sebagai upaya memecah belah, mengadu domba antara Jokowi dan Prabowo. Apalagi Gatot kerap dianggap punya masalah pribadi dengan Jokowi. Tapi terlepas dari itu, ada dinamika yang memang terasa aneh.
Di satu sisi, Prabowo dan Jokowi kerap diproyeksikan sebagai dwi-tunggal. Prabowo sendiri bilang, mereka adalah "hopeng", sahabat lama yang setia.
Namun begitu, ketidaksejalanan di antara mereka juga kerap muncul ke permukaan. Ambil contoh kasus Bandara IMIP di Morowali, atau isu Pagar Laut sebelumnya. Belum lagi soal penanganan bencana dan eksploitasi sumber daya alam yang masif. Persoalan-persoalan ini sebenarnya bukan hal baru; akarnya sudah ada sejak zaman Orde Baru dan berlanjut hingga sekarang.
Artikel Terkait
Kebakaran Mencekam di Kemayoran, 7 Nyawa Melayang
Kebakaran Gedung Terra Drone Kemayoran Tewaskan 7 Orang
Prabowo di Persimpangan: Antara Janji Antikorupsi dan Warisan Kasus yang Menggunung
Damkar Surabaya: Mayoritas Panggilan Justru untuk Evakuasi Hewan