Fenomena LGBT kini bukan cuma isu yang muncul sebentar lalu lenyap. Gelombangnya terasa kian besar, didorong dengan penuh strategi dan dibalut rapi dalam jargon-jargon hak asasi. Sungguh ironis, di saat yang sama, banyak dari kita justru asyik sendiri dengan gawai. Tanpa sadar, masa depan generasi kita sedang digerogoti, pelan tapi pasti.
Angka-angka global pun sebenarnya cukup menghentak. Ambil contoh laporan WHO terbaru tahun 2023, yang mencatat peningkatan signifikan perilaku seksual berisiko di kalangan remaja. Normalisasi orientasi yang menyimpang di dunia digital diduga jadi pemicunya. Nah, di Indonesia sendiri, situasinya tak kalah serius. Data Kemenkes menyebutkan lebih dari 70% kasus HIV baru berasal dari kelompok dengan perilaku seksual berisiko, yang banyak terkait dengan aktivitas homoseksual. Ini alarm, dan bunyinya kian keras.
Menurut sejumlah saksi, platform digital sekarang ini makin gencar mendorong konten-konten normalisasi. Mulai dari film, influencer, sampai yang disebut-sebut sebagai "pendidikan seks progresif" yang diam-diam coba disisipkan ke sekolah. Akibatnya, banyak remaja yang terseret. Bukan karena mereka paham betul, tapi karena paparannya terlalu sering dan masif. Propaganda zaman now memang tak lagi pakai poster besar-besaran. Ia hadir lewat konten singkat 15 detik, yang bisa disukai ratusan ribu orang dalam sekejap.
Di sisi lain, tekanan ekonomi yang kian mencekik membuat keluarga kerap kelelahan. Ruang untuk dialog pun menyempit. Anak-anak akhirnya lebih banyak menghabiskan waktu dengan gadget ketimbang berbincang dengan orang tuanya. Lingkungan yang miskin nilai, ditambah kurikulum pendidikan yang makin menjauh dari pondasi agama, membuat generasi muda bagai berdiri di tepi jurang tanpa pagar pengaman.
Padahal, ancaman terhadap keluarga ini dampaknya jauh lebih dalam. Ini soal arah bangsa kita ke depan. Kalau kita tilik sejarah, kerusakan seksual seringkali jadi pintu awal runtuhnya sebuah peradaban. Begitu identitas gender dikaburkan, lembaga pernikahan dilemahkan, dan nilai keluarga dianggap hanya sekadar pilihan, maka generasi yang lahir akan rapuh. Mudah dikendalikan dan kehilangan daya juang.
Islam sebenarnya sudah mengingatkan hal ini sejak lama. Kisah kaum Nabi Luth bukan sekadar cerita tentang penyimpangan seksual. Itu adalah gambaran nyata tentang pembangkangan yang merusak struktur sosial hingga ke akarnya. Hukuman yang Allah turunkan bukan semata-mata karena "selera pribadi" mereka, tapi lebih karena efek domino kehancuran yang ditimbulkannya terhadap tatanan masyarakat.
Artikel Terkait
Remaja Banyuwangi Diamankan Usai Video Pelecehan Alquran Viral
Gas dan Popok Langka, Warga Tapteng Terjepit Usai Banjir Surut
Gencatan Senjata Retak, Tembakan Kembali Meneror Perbatasan Thailand-Kamboja
Mendikdasmen Abdul Mu’ti Sambangi SD Langkat yang Hancur Diterjang Longsor