Semuanya berawal dari sebuah unggahan di media sosial. Laras memposting foto selfie dirinya yang sedang menunjuk ke arah Gedung Mabes Polri. Foto itu diambil dari lantai 5 Kantor ASEAN. Bukan cuma foto, caption-nya yang berbahasa Inggris itu yang kemudian jadi masalah besar.
"Please burn this building down and get them all yall I wish could help throw some stones but my mom wants me home. Sending strength to all the protesters!!" tulisnya.
Unggahan itu adalah bentuk kegeramannya. Sebuah respons spontan atas tewasnya ojol Affan Kurniawan, yang dilindas kendaraan taktis Brimob dalam unjuk rasa Agustus lalu. Tapi bagi aparat, kata-kata itu dianggap provokasi berbahaya.
Laras pun berhadapan dengan serangkaian pasal berat: UU ITE dan KUHP. Dari situ, ia dijerat sebagai tersangka.
Namun begitu, gelombang dukungan justru mengalir untuknya. Banyak yang menilai proses hukum ini terkesan dipaksakan. Tekanan untuk membebaskannya datang dari berbagai kalangan, termasuk dari dalam tubuh Komisi Percepatan Reformasi Polri sendiri. Mereka bersuara, meminta kasus Laras ditinjau ulang.
Persidangan dengan saksi ahli seperti Rocky Gerung ini pun menambah dimensi baru. Bukan cuma membahas salah atau tidaknya sebuah unggahan, tapi juga menyentuh soal cara negara melihat dan memperlakukan warganya, terutama perempuan, di hadapan hukum.
Artikel Terkait
Tabungan Haji Selamat dari Kubangan Lumpur, Harapan Kembali Bersemi
Jet Tempur Pakistan Beri Kehormatan, Prabowo Disambut Hangat di Islamabad
Dari Dapur Rumah ke Ribuan Porsi: Kisah Maya dan Program Makan Bergizi
Korban Tewas Banjir Bandang Sumatera Hampir Seribu, 298 Masih Hilang