Ia menggambarkan bagaimana benteng ekologis yang dulu dijaga masyarakat adat, pelan-pelan berubah jadi hamparan monokultur, terutama sawit. Praktik pembalakan liar pun disebutnya masih merajalela, diduga dengan dukungan oknum tertentu. Hutan leluhur tinggal kenangan.
Akibatnya bisa ditebak. Tanah kehilangan daya serapnya, dan air hujan langsung meluncur deras membawa lumpur. Bencana pun datang beruntun.
Di sisi lain, kemarahan warga di lokasi terdampak mulai memuncak. Mereka menganggap ini buah dari pembiaran yang terjadi bertahun-tahun. Nicho mengingatkan, jika pemerintah tidak segera bertindak tegas, rasa frustrasi itu bisa meledak menjadi aksi-aksi yang tak terkendali. Kepercayaan publik pun bisa luntur sepenuhnya.
Sampai detik ini, pemerintah pusat memang belum juga mengumumkan status Bencana Nasional. Dari pihak BNPB, responsnya adalah masih melakukan kajian mendalam sembari terus menyalurkan bantuan darurat ke lokasi.
Tapi tekanan tak kunjung reda. Banyak kalangan mulai dari organisasi masyarakat sipil, kelompok adat, hingga aktivis lingkungan bersikeras bahwa status nasional itu penting. Dengan status itu, mobilisasi bantuan, baik anggaran, logistik, hingga dukungan internasional, bisa bergerak lebih cepat. Nyawa yang tertolong mungkin bisa lebih banyak.
Dan waktu terus berjalan, sementara hujan masih sesekali mengguyur.
Artikel Terkait
MUI Desak Menag Batalkan Perayaan Natal Bersama, Sebut Langkah Itu Langgar Fatwa
Ketika Pernikahan Nasi Campur Berakhir di Ruang Sidang
Pernikahan Beda Agama Berujung Perceraian di Ruang Sidang yang Sama
Jimly Berharap Hakim Gunakan Hati Nurani untuk Kasus Demonstran