Banjir Tapanuli: Saat Hutan Batang Toru Menjerit dan Politik Masa Lalu Datang Menagih

- Senin, 08 Desember 2025 | 10:25 WIB
Banjir Tapanuli: Saat Hutan Batang Toru Menjerit dan Politik Masa Lalu Datang Menagih

Daftarnya antara lain tambang emas Martabe milik PT Agincourt Resources, PLTA Batang Toru, operasi geotermal PT SOL, hingga perkebunan sawit seperti PT Sago Nauli dan PTPN III. Sebuah kepungan yang sistematis.

Dan dari semua nama itu, PT Agincourt Resources mendapat sorotan khusus dalam laporan Satya Bumi. Konsesinya seluas 130 ribu hektare lebih. Yang mengkhawatirkan, hampir 41 ribu hektare di antaranya tumpang tindih dengan ekosistem Batang Toru. Bahkan, sekitar 30.630 hektare masuk kawasan hutan lindung yang meliputi tiga wilayah Tapanuli.

Hingga Oktober 2025, perusahaan disebut telah membuka lebih dari 600 hektare, banyak di antaranya hutan primer. Rencana pembangunan fasilitas pengelolaan tailing (TMF) di hulu DAS Nabirong pun mengemuka. Pakar lingkungan was-was. Membangun fasilitas limbah tambang di hulu adalah permainan berisiko tinggi. Jika bocor atau longsor, kualitas air hingga ke hilir Batang Toru bisa terancam.

Logikanya sederhana. Bayangkan Batang Toru seperti busur penahan beban. Saat hutan lebat, ia menahan dan menyerap air hujan dengan baik. Tapi ketika dibuka dan digunduli, tanah kehilangan kekuatannya. Air hujan tak lagi meresap, tapi langsung meluncur deras ke sungai. Debit melonjak tiba-tiba, membawa serta kayu, lumpur, dan segala yang dilewatinya. Jadilah banjir bandang yang menghancurkan.

Satya Bumi dengan tegas menyatakan, banjir di Tapanuli ini bukan semata bencana alam. Ini adalah akumulasi. Deforestasi yang masif, proyek ekstraktif yang tak kenal ampun, ditambah tata kelola lingkungan yang lemah. Semua menyatu menjadi satu ledakan besar.

AEK mengaku punya peta ekspansi perusahaan dan desa-desa yang terdampak. Peta itu, meski tak ia tunjukkan ke publik, menggambarkan skala risiko yang nyata. Desa-desa di bantaran Sungai Batang Toru dan Nabirong kini berstatus zona merah. Keluhan warga seragam: sungai mereka telah berubah. Air lebih keruh, arus tak terduga, dan banjir datang meski hujan tak begitu lebat.

Pesan akhirnya jelas. Bencana ekologis seperti ini adalah buah dari keputusan politik masa lalu yang abai. Pelepasan hutan, pembukaan tambang, ekspansi sawit semua adalah masalah struktural yang dibiarkan mengendap. Dan sekarang, warga Tapanuli yang harus menanggung akibatnya.

tutup AEK. Sebuah harapan sekaligus pengingat yang terasa berat di tengah genangan air yang belum surut.


Halaman:

Komentar