Gempa, Banjir, Letusan: Bencana atau Cermin Kelalaian Kita?

- Sabtu, 06 Desember 2025 | 17:25 WIB
Gempa, Banjir, Letusan: Bencana atau Cermin Kelalaian Kita?

Kerentanan itu bisa muncul dari banyak hal. Kemiskinan, misalnya. Lalu pemukiman liar di bantaran sungai, tata kota yang abai pada risiko, atau pendidikan kebencanaan yang minim.

Solusinya pun bersifat sosial. Membangun literasi lewat simulasi di sekolah dan masjid, memperkuat komunitas lokal dengan membentuk kampung siaga, menegakkan aturan tata ruang yang ketat, dan tentu saja, pemberdayaan ekonomi. Logikanya sederhana: masyarakat yang sejahtera biasanya lebih tangguh.

Singkatnya, bencana seringkali adalah buah dari kegagalan kita mengelola kehidupan.

Lensa Religius-Islami: Musibah, antara Peringatan dan Ujian

Islam menawarkan cara pandang yang lebih dalam. Menariknya, Al-Qur'an tak pernah menyebut frasa "bencana alam". Allah berfirman dalam QS. Ali Imran ayat 108, yang intinya menyatakan Dia tidak menzalimi hamba-Nya. Jadi, istilah itu sendiri agak janggal dalam bahasa wahyu.

Yang ada adalah konsep-konsep lain: musibah (ujian hidup), fitnahtanzir (peringatan), atau azab (hukuman bagi kaum yang durhaka). Satu peristiwa bisa mengandung makna berbeda bagi tiap orang atau kelompok. Ia bukan hanya soal fisik, tapi juga ajakan untuk introspeksi secara spiritual.

Dalam Islam, alam semesta adalah ayat kauniyah, tanda kebesaran Allah yang harus dibaca. Mempelajari geologi atau mitigasi bencana justru adalah bentuk dari pembacaan itu.

Di sisi lain, agama ini juga melarang keras perusakan bumi. Menebang hutan sembarangan atau menimbun daerah resapan bukan cuma kesalahan teknis, tapi juga dosa ekologis, seperti yang diingatkan dalam QS. Al-Baqarah.

Bahkan istighfar punya dimensi protektif. Sebagaimana firman-Nya dalam QS. Al-Anfal: 33, yang intinya Allah tak akan mengazab suatu kaum selama mereka masih beristighfar. Tapi istighfar di sini bukan cuma di lisan. Ia mesti terwujud dalam perbuatan: jujur, amanah, dan menjaga lingkungan.

Dan jangan lupa, menjaga nyawa (hifzh an-nafs) adalah tujuan utama syariah. Maka, aktivitas seperti pelatihan evakuasi atau kerja bakti relawan SAR, itu semua adalah ibadah sosial yang nyata.

Menyatukan Tiga Perspektif

Kalau ketiga pandangan ini kita satukan, gambaran yang utuh akan muncul. Geologi membantu kita paham apa yang terjadi dan bagaimana prosesnya. Sosiologi menerangkan mengapa dampaknya bisa begitu parah di suatu komunitas. Sementara Islam memberikan makna, etika, dan kompas moral agar kita tetap rendah hati dan adil terhadap bumi.

Jadi, istilah "bencana alam" mungkin cuma penyederhanaan bahasa yang keliru. Alam tak pernah berniat jahat. Yang mengubah fenomena jadi bencana seringkali adalah kelalaian kita: lengah, merusak lingkungan, dan lupa akan amanah sebagai khalifah.

Dengan merangkul ketiga perspektif ini, barulah kita bisa membangun ketangguhan yang sejati: tangguh secara ilmu, kuat secara kebersamaan, dan matang secara spiritual. Itulah fondasi sebenarnya untuk menghadapi segala ujian hidup, musibah atau bukan.


Halaman:

Komentar