Benarkah Ada Bencana Alam?
Membaca Musibah dengan Tiga Lensa: Geologi, Sosial, dan Iman
Oleh: Asruri Muhammad
(Pegiat Dakwah Muhammadiyah)
Kita sering mendengarnya. Bahkan mungkin mengucapkannya setiap hari. "Bencana alam." Kata itu begitu mudahnya meluncur dari pemberitaan media, dokumen resmi, hingga percakapan warung kopi. Ada gempa? Langsung disebut bencana. Banjir melanda? Itu bencana. Gunung meletus? Bencana lagi.
Tapi, coba kita berhenti sejenak. Menurut sejumlah ahli, istilah itu sebenarnya bermasalah. Baik jika dilihat dari kacamata ilmu bumi maupun ajaran Islam. Alam sendiri sejatinya tak punya niat jahat. Gempa, hujan deras, atau letusan gunung adalah peristiwa alamiah belaka, bagian dari hukum Allah yang berjalan. Lantas, apa yang mengubahnya jadi "bencana"? Jawabannya justru ada pada kita, manusia. Kerentanan kita, tata ruang yang amburadul, bangunan yang rapuh, dan sikap kita yang sering lalai menjaga bumi.
Karena itulah, untuk benar-benar paham, kita butuh melihatnya dari tiga sudut pandang sekaligus: geologis, sosiologis, dan religius. Ketiganya saling melengkapi, tak bisa dipisah-pisah.
Pandangan Geologi: Proses yang Wajar, Bukan Malapetaka
Dalam dunia geologi modern, Anda tak akan menemukan istilah natural disaster. Yang ada adalah natural hazard fenomena alam yang punya potensi bahaya. Bedanya tipis, tapi penting.
Fenomena seperti gempa bumi atau gunung meletus sudah terjadi jauh sebelum manusia menginjakkan kaki di planet ini. Bagi para geolog, ini bukan musibah. Ini hanyalah dinamika normal Bumi yang sedang bernapas. Jadi, fokusnya bukan pada melawan alam, tapi pada bersiap menghadapinya.
Pendekatannya pun sangat teknis dan nyata. Misalnya dengan pemetaan zona rawan untuk jadi dasar pembangunan, menerapkan standar bangunan tahan gempa, atau memasang sistem peringatan dini untuk tsunami dan banjir. Rehabilitasi lingkungan, seperti menanam kembali hutan, juga bagian dari solusi ini.
Intinya, dari kaca mata geologi, yang jadi soal bukan proses alamnya. Melainkan ketidaksiapan kita sendiri.
Sudut Pandang Sosiologi: Bencana adalah Cermin Kerentanan Kita
Nah, di sinilah perspektif sosiologi masuk. Ia menegaskan bahwa bencana pada hakikatnya adalah peristiwa sosial. Bukan sekadar gejala fisik. Coba bayangkan, gempa besar di gurun pasir yang tak berpenghuni mungkin tak meninggalkan cerita. Sebaliknya, gempa kecil di permukiman kumuh dengan rumah berjejal bisa berakhir tragis.
Artinya, bencana terjadi ketika bahaya alam (hazard) bertemu dengan kerentanan sosial (vulnerability).
Artikel Terkait
Fakta di Balik Pelepasan 1,6 Juta Hektar Hutan Era Zulhas
Menag Umar: Indonesia adalah Lukisan Tuhan Terindah di GBK
Warga Asing China Gagal Selundupkan Serbuk Nikel dari Bandara IWIP
Gempa, Kelangkaan, dan Tagihan Dosa Ekonomi yang Tak Kunjung Lunas