Namun begitu, bayangkan jika ia memilih jalan lain. Setelah melihat langsung penderitaan korban, mendengar tangis anak-anak yang kehilangan rumah, ia merasa sebagian tanggung jawab itu ada di pundaknya. Dan tanggung jawab itu tak bisa lunas hanya dengan rapat darurat atau pernyataan pers.
Dengan hati berat, ia mungkin mulai menyusun surat pengunduran diri. Bukan surat panjang berisi pembelaan. Tapi pengakuan jujur bahwa sistem yang ia pimpin ternyata belum mampu melindungi rakyat. Ia menyatakan duka mendalam, mengakui kegagalan, dan menyadari bahwa mungkin dibutuhkan sosok baru dengan pendekatan yang lebih segar untuk memimpin pemulihan.
Keputusan seperti itu pasti menuai badai. Akan ada yang menuduhnya lari dari masalah, atau berlagak dramatis. Tapi baginya, kritik itu tak seberapa dibanding luka batin setiap kali membaca laporan korban baru. Dalam suratnya, ia bisa berjanji tetap membantu pemulihan, meski bukan lagi sebagai pejabat. Pengabdian, baginya, tak berhenti pada jabatan.
Setelah surat ditandatangani, mungkin ada kelegaan. Langkahnya pelan tapi mantap menyusuri lorong kantor. Ia sadar, dirinya mungkin akan dikenang justru karena keputusan untuk mundur ini sebuah keberanian moral, bukan kekalahan.
Tapi semua itu hanya bayangan. Narasi indah dalam pikiran. Kenyataannya? Sampai detik ini, belum ada satu pun yang benar-benar melakukannya. Mereka semua masih bertahan. Bukan karena sudah berdamai dengan hati nurani, tapi mungkin justru sebaliknya. Dan mereka masih saja bicara.
AM234
Artikel Terkait
Rektor Asia Tenggara Berdebat: Bisakah Kampus Bertahan Saat AI Gantikan Proses Berpikir?
Helikopter Gubernur Aceh Melayang di Atas Puing Banjir Bandang Nagan Raya
Burkina Faso Berbalik Arah: Hukuman Mati Kembali, Homoseksualitas Dikriminalkan
Tere Liye Soroti Klaim Pejabat Era Zulhas: Pelepasan Hutan Itu Cuma Ganti Baju