Di tangan Ulil, itu berubah jadi: "Jadi kamu mau semua tambang ditutup?"
Lalu, serangan pun dilancarkan terhadap pernyataan ekstrem itu. "Pandangan seperti itu tidak realistis," katanya, seolah-olah itu adalah pandangan lawannya. Hasilnya? Di mata pengikutnya, Ulil tampak sebagai sosok yang rasional dan moderat.
Padahal, yang terjadi sebenarnya adalah pengalihan isu. Dia tidak menjawab kekhawatiran nyata tentang deforestasi dan kerusakan ekologis. Dia juga tidak menyentuh cerita pilu warga yang kehilangan tempat tinggal karena banjir. Perdebatan dialihkan dari fakta lapangan yang pahit menuju wilayah abstrak yang aman dan tentu saja, membuatnya terlihat benar.
Pola ini seperti rekaman lama yang diputar berulang. Sejak awal 2000-an, setiap gagasannya dikritik entah itu soal agama, sekularisme, toleransi, hingga tambang Ulil jarang sekali berada di posisi yang merevisi pendapat. Yang terjadi justru sebaliknya. Lawan dianggap tidak paham. Argumen mereka disederhanakan sedemikian rupa. Konteksnya digeser.
Dan pada akhirnya, dalam narasi yang dia bangun sendiri, Ulil selalu berada di posisi moral yang sempurna. Seakan-akan dalam lebih dari dua dekade, dia tak pernah sekalipun merasa keliru. Atau, setidaknya, tak pernah mengakuinya.
Bagi yang sudah lama mengikuti sepak terjangnya, gaya khas Ulil memang begitu. Dia tidak pernah benar-benar salah. Minimal, menurut versinya sendiri.
Tapi di luar sana, realita berbicara lain. Publik punya pandangan yang berbeda tentangnya.
(")
Artikel Terkait
Jakarta Terancam Tenggelam: Warga Masih Bergantung pada Air Tanah di Kampung Bandan
Beras Bulog yang Tua: Saat Stok Lama Kehilangan Nyawanya
Stok Pangan Aman, Lampung Siap Sambut Natal dan Tahun Baru
Kakek 74 Tahun Ditahan, Mahar Cek Rp 3 Miliar untuk Istri Muda Ternyata Palsu