Banjir Dosa: Ketika Maksiat Kolektif Mengundang Bencana

- Jumat, 05 Desember 2025 | 07:50 WIB
Banjir Dosa: Ketika Maksiat Kolektif Mengundang Bencana

Banjir, bagi banyak orang, hanyalah peristiwa alam biasa. Tapi coba kita renungkan sejenak. Sebenarnya, ia bisa jadi cermin dari sesuatu yang jauh lebih dalam: rusaknya hubungan kita dengan Tuhan, dengan sesama manusia, dan dengan alam sekitar kita sendiri.

Nah, dalam tradisi Islam, para ulama sering mengingatkan bahwa bencana itu sejatinya sebuah tazkirah semacam peringatan agar kita kembali ke jalan yang benar. Memang, banjir fisik bisa kita atasi dengan tanggul atau perbaikan tata kota. Tapi bagaimana dengan banjir dosa? Itu hanya bisa ditahan dengan iman dan ketakwaan.

Istilah "banjir dosa" ini merujuk pada meluasnya perilaku maksiat yang kini dianggap biasa saja. Dosa tak lagi dilihat sebagai pelanggaran moral, melainkan sudah jadi bagian dari budaya modern. Lihat saja tayangan hiburan yang vulgar, praktik korupsi yang dianggap lumrah, sampai hilangnya kepedulian sosial. Semua itu seperti genangan-genangan kecil yang lama-lama menyatu dan akhirnya meluap menjadi banjir besar.

Imam Ibn al-Qayyim pernah menggambarkan dosa sebagai al-gharaq tenggelamnya manusia dalam gelombang syahwat dan kelalaian. Perlahan-lahan, itu membutakan mata hati. Ketika dosa dilakukan terus-terusan tanpa rasa bersalah, hati akan mengeras bagai batu. Dalam kondisi seperti itu, nasihat, musibah, bahkan ayat-ayat Allah pun sulit menembusnya.

Ini bukan cuma soal perilaku individu, lho. Fenomena banjir maksiat punya dimensi sosial yang kuat. Ketika suatu masyarakat membiarkan kemungkaran merajalela, kemaksiatan akan berubah jadi budaya, bukan lagi sekadar penyimpangan.

Nabi Muhammad ﷺ sudah mengingatkan, “Jika kemaksiatan tampak terang-terangan di suatu kaum, maka akan tersebarlah wabah dan azab yang tidak pernah muncul pada generasi sebelumnya.”

Peringatan itu terasa sangat relevan di zaman sekarang. Maksiat sosial semacam pembohongan publik, eksploitasi alam habis-habisan, keserakahan ekonomi, dan merosotnya integritas birokrasi semua itu adalah bentuk maksiat kolektif. Dampaknya jauh lebih luas dan merusak ketimbang kesalahan perorangan.

Ulama kontemporer Syekh Yusuf al-Qaradhawi pernah menegaskan, maksiat sosial punya efek berantai yang mengerikan: merusak keadilan, meruntuhkan kepercayaan publik, sampai merampas hak-hak rakyat kecil. Kalau sistemnya sudah rusak, bencana moral pasti tak terhindarkan.

Dalam Al-Qur’an, azab itu bukan sekadar hukuman. Ia bagian dari sunnatullah, hukum sebab-akibat yang berlaku. Ketika manusia melampaui batas, kerusakan pun terjadi dan akhirnya menghantam mereka sendiri.

Allah berfirman, “Telah tampak kerusakan di darat dan laut akibat ulah tangan manusia, agar Allah merasakan kepada mereka sebagian dari akibat perbuatan mereka, supaya mereka kembali.”

Kerusakan alam yang kita saksikan hutan gundul, sungai tercemar, kota penuh beton itu contoh nyata "maksiat ekologis". Hasilnya? Banjir, longsor, iklim ekstrem. Para ahli lingkungan menyebutnya ecological backlash, sebuah istilah yang sejalan banget dengan konsep Al-Qur’an tentang akibat kezaliman manusia terhadap bumi.

Prof. Quraish Shihab pernah menjelaskan, ayat tadi tidak selalu bicara soal azab dalam wujud kilat atau gempa. Bisa saja azab itu berupa kerusakan sistem, krisis akhlak, atau kekacauan sosial.

“Azab bukan hanya soal apa yang menyakitkan jasmani,” katanya, “tetapi juga apa yang merusak tatanan kehidupan.”

Para ulama sering menegaskan, azab seringkali bertujuan mengingatkan, bukan cuma menghukum. Imam Al-Ghazali menyebutnya rahmat yang tersembunyi: Allah mengembalikan manusia ke jalan-Nya dengan cara yang bisa mereka rasakan langsung.

Kalau peringatan halus lewat nasihat atau ajakan sudah tidak mempan, maka Allah biasanya menurunkan peringatan yang lebih tegas berupa musibah. Bukan karena Allah kejam, tapi karena manusia sendiri yang keras kepala.

Sejarah mencatat, kaum Nabi Nuh, ‘Ad, Tsamud, dan Saba’ menerima azab setelah maksiat mereka berubah jadi budaya dan perlawanan terhadap kebenaran. Peringatan demi peringatan diabaikan, hingga akhirnya azab turun sebagai bentuk penyucian bumi.


Halaman:

Komentar