Ketika Nama Jenderal Menjadi Alamat Penderitaan Rakyat

- Selasa, 02 Desember 2025 | 13:25 WIB
Ketika Nama Jenderal Menjadi Alamat Penderitaan Rakyat

Negeri Para Jenderal: Tentang Tanah Republik yang Rakyat Terus Terjajah

Oleh: Firman Tendry Masengi Advokat/Alumni GMNI.

Sejarah negeri ini ditulis dengan darah rakyatnya sendiri. Tapi lihatlah sekarang. Para jenderal berdiri di mimbar-mimbar megah, bagai nabi baru. Seragam mereka bukan lagi lambang penjaga tanah air, melainkan kostum sakral yang menutupi kerakusan. Nama-nama mereka ada di mana-mana. Jalan raya, bandara, gedung pemerintah, sampai gang sempit tempat rakyat merintih semua diabadikan untuk para jenderal. Seolah seluruh bumi yang diinjak rakyat cuma altar pemujaan bagi penjarah berseragam.

Setiap kali kita menyebut alamat, tanpa sadar kita mengucapkan mantra pujian untuk para petinggi yang justru mengkhianati kita. Patriotisme dipaksakan lewat papan nama. Sungguh ironis. Tugu-tugu menjulang, prasasti berlapis emas, patung menatap langit yang retak. Semua itu bercerita tentang kejayaan yang tak pernah dirasakan rakyat. Cuma propaganda untuk menutupi dosa.

Nama-nama itu bukan sekadar penghormatan. Mereka adalah penjara ingatan. Setiap warga dipaksa berjalan di atas nama yang pernah menindas mereka. Bayi yang lahir pun, saat alamatnya dicatat, sudah masuk dalam lorong propaganda. Jalan-jalan itu bukan jalan kemerdekaan. Itu jalan kolonialisasi domestik, jejak sepatu lars yang terus menginjak-injak republik.

Menurut sejumlah saksi, para jenderal di sini tak pernah benar-benar berhenti berperang. Mereka cuma ganti medan tempur. Dulu musuhnya penjajah asing. Kini? Rakyatnya sendiri. Mereka merampas, menggusur, mengendalikan anggaran bagai harta rampasan. Semua dilakukan sambil berteriak "demi bangsa dan negara". Mereka mengibarkan bendera di atas rumah-rumah yang baru saja mereka hancurkan. Menampar nurani sambil berkata: inilah keamanan.

Dada mereka membusung, medali berderet seperti kalung emas penguasa tiran. Sementara itu, rakyat antre untuk bantuan sembako, menunggu sepotong roti dari negara yang digerogoti anak-anak seragam. Negeri ini bukan miskin; ia dijarahi. Bukan lemah; ia sengaja dilemahkan.

Di ruang istana yang dingin, mereka bicara nasionalisme sambil membuka peta tambang. Republik cuma "wilayah operasi". Masyarakat disebut "target". Sumber daya adalah "jarahan yang sah". Kala rakyat bertanya, jawabnya deru kendaraan taktis, bukan dialog. Saat rakyat menangis, air mata mereka diserap debu pembangunan yang tak pernah mereka minta.


Halaman:

Komentar