Raditya lantas menyinggung akar masalah yang sebenarnya: tata ruang. Ia menyebut, di balik musibah yang dianggap 'bencana alam' itu, seringkali ada kesalahan perencanaan yang dibuat manusia sendiri.
Contoh nyatanya ada di kawasan Jabodetabekpunjur. Menurut data satelit yang dimiliki BNPB, masih banyak rumah yang berdiri persis di sempadan sungai. Padahal, area itu seharusnya jadi ruang pengaman penyangga antara ekosistem sungai dan aktivitas manusia, yang fungsinya mencegah erosi dan mengurangi dampak banjir.
Di sisi lain, ketidaksiapan tak hanya terjadi di Jawa. Raditya juga menyoroti sejumlah kejadian di Sumatra. Banjir bandang dan tanah longsor di Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat disebutnya mengakibatkan korban jiwa yang seharusnya bisa diminimalisir.
"Ini mengakibatkan banyak korban jiwa dan sesuatu yang bisa dikatakan mungkin tidak siap. Karena masyarakatnya juga tidak terinfokan secara langsung," tuturnya.
Ia pun menggarisbawahi pentingnya mengubah peringatan dini menjadi aksi nyata. Mengutip pernyataan Kepala BMKG, Teuku Faisal Fathani, Raditya menegaskan bahwa "early warning" harus berubah jadi "early action".
Lebih dari itu, ia mendorong agar semua itu berujung pada "real action" kesiapsiagaan yang konkret dan terukur di tingkat daerah. Tanpa itu, semua rapat koordinasi mungkin hanya akan jadi rutinitas belaka, sementara ancaman bencana terus mengintai.
Artikel Terkait
Ngadiyakur dan Payung Lukis: Menjaga Napas Tradisi di Desa Juwiring
Puluhan Remaja Serbu Motor dengan Brutal di Surabaya
Kapal Tempur Beralih Tugas, Angkut Bantuan Besar-besaran ke Wilayah Bencana
Gus Ulil Dibombardir Ancaman Usai Debat Sengit Soal Wahabisme Lingkungan