Di sisi lain, ada lagi jalan hukum yang terbuka. Indonesia dan Belanda punya perjanjian bantuan hukum timbal balik atau MLAT. Perjanjian ini memfasilitasi pertukaran informasi dan bukti untuk penyelidikan kejahatan. Kebetulan, aktivis OCCRP yang bersangkutan bermarkas di Belanda. Jadi, secara prosedur, sebenarnya ada celah untuk menindak.
Kalau saja langkah tegas itu diambil, penulis yakin dukungan akan mengalir. Mayoritas masyarakat, terutama yang peduli penegakan hukum, pasti akan mendukung upaya membela nama baik mantan presiden. Bagaimanapun, figur seorang eks presiden adalah cermin sosial-politik bangsa di panggung global.
Namun begitu, karena sikap tegas itu tak kunjung muncul, timbul pertanyaan besar. Mengapa pemerintah terkesan enggan? Sikap diam ini membuat penguasa sekarang terlihat tidak layak menganakemaskan Jokowi.
Belum lagi, ada banyak "dugaan" lain yang beredar di tingkat domestik. Dari kalangan advokat hingga akademisi hukum, muncul opini bahwa Jokowi terlibat dalam sejumlah praktik cawe-cawe dan pembiaran yang beraroma KKN. Bahkan, isu yang lebih keras tentang pemalsuan dokumen resmi seperti ijazah juga kerap mencuat ke permukaan.
Semua ini menciptakan bayangan yang suram. Ketika peluang hukum untuk membela diri dibiarkan, sementara berbagai tuduhan domestik menumpuk, wajar jika publik kemudian mempertanyakan keseluruhan narasi.
Penulis adalah Advokat, Jurnalis, dan Pakar Ilmu Peran Serta Masyarakat.
Artikel Terkait
Roy Suryo Bongkar Ciri Ijazah UGM 1985, Soroti Perbedaan Mencolok dengan Dokumen Jokowi
Aslan, Anjing Pelacak yang Menemukan Harapan di Tengah Reruntuhan Tapanuli
Truk Raksasa di Muara Enim Picu Aksi Massal, SIRA Tuntut Gubernur Bertindak
Duka dan Harapan di Sumatera: Alumni Akpol 2005 Kirim Ribuan Paket untuk Korban Bencana