Misteri di Balik Suksesi Muhammadiyah yang Selalu Damai

- Selasa, 25 November 2025 | 07:40 WIB
Misteri di Balik Suksesi Muhammadiyah yang Selalu Damai

Mengapa Suksesi KETUM Muhammadiyah Selalu Adem Ayem?

Muhammadiyah memang unik. Organisasi ini sudah berusia 113 tahun lebih dari satu abad. Kalau manusia, umur segitu biasanya sudah dipanggil "eyang", jalannya pelan, dan bicaranya suka berulang-ulang.

Tapi Muhammadiyah? Masih lincah. Masih produktif mendirikan universitas, rumah sakit, sekolah, dan pondok pesantren. Juga aktif di panggung wacana nasional lewat Buya-Buya yang kalau bicara bikin netizen langsung ngecek ulang iman dan akal sehatnya.

Yang lebih ajaib lagi, Muhammadiyah termasuk ormas terkaya di Indonesia. Asetnya ratusan triliun. Kalau dicairkan jadi es teh, mungkin cukup buat mendinginkan seluruh suhu politik negeri ini. Di tempat lain, aset segitu biasanya sudah cukup bikin kursi rapat beterbangan seperti frisbee. Tapi di Muhammadiyah? Adem. Damai. Tenang. Nyaris kayak rapat RT bahas perbaikan selokan.

Setiap muktamar, suasananya bukan perang bintang atau adu slogan. Yang terjadi justru fenomena yang agak susah dijelaskan ke orang luar: tradisi saling menolak jabatan. Betulan. Saling dorong. Saling lempar "sampeyan saja." Mirip kejadian rebutan jadi imam shalat:

"Monggo, njenengan."
"Ndak usah, jenengan mawon."
"Wis, sampeyan wae."
"Aduh, jangan saya, tolong yang lain!"

Nggak selesai-selesai. Kalau perlu, panitia harus "memaksa halus".

Salah satu kisah paling fenomenal terjadi di Muktamar ke-32 di Purwokerto tahun 1953. Setelah sembilan formatur terpilih, semuanya... menolak jadi ketua umum. Semuanya! Bahkan mungkin malaikat pencatat amal ikut geleng-geleng.

Akhirnya formatur bermusyawarah dan muncul ide agak kreatif: naturalisasi ketua. Mereka berangkat ke Minangkabau, meminang RA Sutan untuk bersedia menjadi Ketua Umum sekaligus hijrah ke Yogyakarta. Coba bayangkan, dalam organisasi lain, "dipinang jadi ketua" adalah momen pencapaian puncak. Di Muhammadiyah? Itu seperti dipanggil guru BP: "Nak, kamu kami pilih jadi ketua. Ini bukan hadiah, ini PR."

Lalu kenapa bisa begitu? Kok adem banget? Kok nggak ada drama rebutan kursi? Apa karena warga Muhammadiyah sudah khatam dzikir tenang? Bukan juga. Rahasianya ada di kultur yang sudah tertanam ratusan tahun.


Halaman:

Komentar