Di tengah situasi ini, Polda Metro Jaya malah memberi cekal untuk kedelapan tersangka. Alasannya, khawatir mereka kabur ke luar negeri. Tapi sebenarnya, kemungkinan itu kecil banget. Persoalan pembuktian dan tanggung jawab publik justru ada di dalam negeri. Mereka sudah bertekad bertahan sampai tuntas, apapun risikonya. Melawan ketidakadilan—begitu semangat mereka—adalah perjuangan yang tak boleh padam. Ijazah palsu Jokowi, kata mereka, jangan sampai jadi racun yang terus merusak bangsa.
Atau jangan-jangan, cekal ini cuma upaya untuk mencegah pembongkaran lebih lanjut? Bukan cuma soal ijazah Jokowi, tapi juga sekolah anaknya, Gibran. Tapi upaya ini agaknya sia-sia. Roy Suryo sendiri mengaku kunjungannya ke Australia beberapa waktu lalu sudah menghasilkan data penting tentang pendidikan Gibran. Jadi, buat apa diulang?
Sementara itu, isu ijazah palsu ini ternyata sudah merambah ke tingkat internasional. Diaspora Indonesia di berbagai negara mulai dapat informasi tentang kasus ini. Buku "Jokowi's White Paper" karya Roy, Rismon, dan Tifa, plus buku "Publik Yakin Ijazah Jokowi Palsu" yang saya tulis, sudah beredar di mana-mana. OCCRP jilid dua konon sedang mengintai juga.
Pada akhirnya, mediasi kemungkinan besar tak akan terjadi. Cekal pun jadi terasa tak bermakna. Kasus ijazah palsu ini terus menggelinding bak bola salju. Sebentar lagi, dokumen-dokumen bohong—jika memang bohong—akan terbongkar. Dan itu akan memalukan sekaligus menghinakan sang mantan presiden. Jeruji besi sudah menanti. Dari sanalah nanti mungkin akan terdengar senandung sendu: mediasi oh mediasi, cekal oh cekal...
") Pemerhati Politik dan Kebangsaan
Bandung, 21 November 2025
Artikel Terkait
Divisi Hakim Tumpu Vonis 4,5 Tahun Eks Dirut ASDP Meski Tak Ada Bukti Korupsi
Sulaiman Al Rajhi Lepas Rp 267 Triliun, Warisan Abadi untuk Kemanusiaan
Pendidikan Indonesia di Ujung Tanduk: Krisis Karakter dan Kualitas yang Terus Menganga
Polri Gagalkan 155 Ton Ganja dari Ladang Tersembunyi di Aceh