21 Tahun Jadi Budak di Negeri Orang: Kisah Pilu Pekerja Migran yang Disiksa Majikan Tanpa Gaji dan Kontak Keluarga

- Kamis, 20 November 2025 | 19:30 WIB
21 Tahun Jadi Budak di Negeri Orang: Kisah Pilu Pekerja Migran yang Disiksa Majikan Tanpa Gaji dan Kontak Keluarga

Laporan dari Hati Nurani

Di sisi lain, kisah ini terungkap justru karena laporan anak majikan sendiri. Hermono menjelaskan, si anak tidak tega melihat SN terus disiksa. “Dia dirawat oleh korban sejak kecil, sejak umur 3 tahun. Jadi anak ini menganggap SN seperti ibunya sendiri. Menurut polisi, yang kejam justru majikannya yang perempuan,” ujarnya.

“Ini bukti bahwa perlakuan terhadap SN sudah keterlaluan. Sampai-sampai seorang anak berani melaporkan orang tuanya sendiri, meski tahu risikonya. Tapi dia tidak tahan melihat penderitaan korban,” lanjut Hermono.

Korban ternyata bekerja pada majikan yang sama sepanjang 21 tahun. Sejak tiba di Malaysia tahun 2004, hidupnya seperti di penjara: disiksa, tak digaji, dan dilarang keluar rumah.

“Dia dikurung, tidak pernah boleh kemana-mana. Gaji? Tidak pernah sama sekali. Hubungan dengan keluarga juga diputus. Penyiksaan fisik sampai membuat bibirnya sumbing karena disiram air panas—lukanya sampai infeksi dan harus dioperasi. Gigi depannya pun patah,” papar Hermono tegas.

KBRI Malaysia sudah melaporkan kasus ini kepada pemerintah Malaysia melalui Kementerian Luar Negeri. Hermono menegaskan bahwa yang dialami SN adalah pelanggaran HAM berat. “Dia benar-benar diperlakukan seperti budak. Makan seadanya, ada kekerasan fisik. Kami sudah siapkan pengacara untuk menuntut hak gaji selama 21 tahun, plus kompensasi atas cacat fisik permanen. Kami juga minta pidana bagi majikan karena eksploitasi dan kekerasan,” tegasnya.

Menariknya, sang majikan disebut punya pekerjaan yang bagus—pernah jadi direktur di sebuah pabrik, sekarang jadi karyawan biasa. Saat ini, pelaku ditahan dengan jaminan. “Ditahan, tapi pakai jaminan uang. Kalau tidak salah sekitar 20 ribu ringgit. Jadi statusnya tahanan rumah, tidak boleh pergi jauh,” pungkas Hermono.


Halaman:

Komentar