Sumber internal DPR menyebut bahwa proses verifikasi dokumen selama ini lebih mirip checklist administrasi daripada audit akademik. Tidak ada pemeriksaan substansi kampus. Tidak ada uji kualitas akademik. Yang penting dokumen lengkap—seperti mengurus sertifikat vaksin.
Kalau benar demikian, kita sedang melihat lubang besar dalam mekanisme seleksi pejabat tinggi negara.
Gelombang Desakan Publik
Para pengamat hukum meminta penyelidikan yang lebih dalam. Mereka mendesak aparat untuk tidak berhenti pada bukti fisik, tetapi mengaudit proses akademik yang dijalani.
Collegium Humanum, menurut mereka, bukan sekadar kampus bermasalah, melainkan simbol dari persoalan struktural yang lebih luas: merajalelanya gelar instan di republik ini.
Di luar gedung MK, suara-suara skeptis mulai tumbuh. Mereka menyebut kasus ini sebagai bukti bahwa moral konstitusi kini digadaikan pada lembaran kertas yang proses kelahirannya gelap.
Pembelaan yang Justru Memantulkan Keraguan
Arsul menunjukkan kehati-hatian berlebih saat wartawan ingin memotret ijazahnya dari dekat. Ia khawatir dokumen itu disunting. Ketakutan itu manusiawi, tetapi dalam kacamata publik, justru melahirkan interpretasi lain: jika dokumen itu asli dan prosesnya sah, mengapa takut pada kamera?
Di titik ini, publik mulai membaca bahasa tubuh yang tidak diucapkan.
Ketika Risiko Terburuk Mengintai MK
Ada skenario kelam yang menghantui. Bila terbukti benar bahwa gelar Arsul Sani lahir dari proses abal-abal, maka lubang yang menganga bukan hanya di CV seorang hakim, tetapi di jantung Mahkamah Konstitusi. Apa daya sebuah lembaga penjaga konstitusi jika salah satu hakimnya tidak lolos ujian integritas akademik?
Putusan-putusan yang pernah ia tanda tangani bisa dipreteli legitimasinya. MK terancam masuk gelombang krisis moral yang mudah bergeser menjadi krisis politik. Para pemohon perkara bisa mempertanyakan objektivitas putusan. Publik bisa mencibir bahwa "penjaga konstitusi" ternyata dijaga oleh gelar yang diragukan.
Dalam skenario yang lebih gelap, jika MK tidak mampu menjawab ini secara terang, maka kewibawaannya bisa runtuh bukan karena serangan politik, melainkan karena satu lembar ijazah.
Kaca Retak di Panggung Penjaga Konstitusi
Akhirnya, kasus ini bukan sekadar tentang seorang hakim atau satu kampus bermasalah. Ini tentang sistem yang mungkin selama ini lebih percaya pada kertas daripada proses, lebih percaya pada stempel daripada integritas.
Seperti kaca yang retak di panggung konstitusi, ia memantulkan cahaya yang tidak ingin kita lihat. Bahwa setipis apa pun retakan itu, ia cukup untuk membuat seluruh bangunan terlihat rapuh.
Dan bila kaca itu pecah seluruhnya, tidak ada pesta kemenangan yang dapat mengalihkan pandangan.[]
"Dosen di Padang, Sumatera Barat.
Artikel Terkait
Kembalikan Rp 883 Miliar, KPK Suntik Dana Pensiun ASN Lewat Taspen
Vonis Mafia Tanah Bantul: Sertifikat Mbah Tupon Belum Sepenuhnya Kembali
Trader Bandung Bobol Sistem Markets.com, Rugikan Platform Rp 6,6 Miliar
Efek Kupu-Kupu Politik: Jika Jokowi Tak Pernah Memimpin Indonesia