Warisan Pahit Kesultanan Melayu: Tuan di Sejarah, Tergusur di Tanah Leluhur

- Rabu, 19 November 2025 | 21:48 WIB
Warisan Pahit Kesultanan Melayu: Tuan di Sejarah, Tergusur di Tanah Leluhur

Konflik Tanah Kesultanan Melayu Sumatera Timur: Warisan Sejarah yang Terusir di Negeri Sendiri

Sengketa tanah di wilayah bekas Kesultanan Melayu Sumatera Timur terus menjadi luka yang tak kunjung sembuh, bergerak dari ruang pengadilan hingga benturan fisik berdarah, mengisahkan peralihan kepemilikan yang mengubah nasib suatu bangsa.

Konflik ini berakar sejak paruh akhir abad XIX, ketika lahan-lahan masyarakat adat mulai dikonsesikan kepada perkebunan besar asing. Kawasan Sumatera Timur yang sebelumnya terdiri dari kesultanan-kesultanan seperti Bilah, Panei, Deli, Serdang, Langkat, dan Asahan, hidup dalam kemakmuran berdasarkan pertanian dan hasil hutan.

Laporan politiko-commercial John Anderson pada 1823, "Mission to the East Coast of Sumatra in 1823", menggambarkan kehidupan ekonomi yang maju. Langkat mengekspor 20.000 pikul lada per tahun ke Eropa dan Amerika, ditambah rotan dan kayu ke China. Deli menghasilkan lada dan gambir hingga 15.000 pikul untuk diekspor, sementara wilayah seperti Serdang dan Batu Bara turut berkontribusi dalam perdagangan regional.

Tanah dipandang sebagai karunia Tuhan yang dimakmurkan oleh Sultan sebagai khalifatul fil ardh. Namun, kedatangan Jacobus Nienhuys pada 1863 menjadi titik balik. Keberhasilannya membuka perkebunan tembakau Deli—yang terkenal sebagai pembungkus cerutu terbaik—mengubah lanskap ekonomi dan sosial secara drastis.

Revolusi Hijau dan Perebutan Kawasan

Di bawah Jacob Theodoor Cremer, pengganti Nienhuys, ekspansi perkebunan tembakau meluas pesat. Dari hanya 13 lahan, berkembang menjadi 44 lahan di Deli, 20 di Langkat, dan 9 di Serdang. Produksi tembakau melonjak dari 6.400 bal (pakken) pada 1872 menjadi 125.496 bal pada 1884, dengan nilai penjualan mencapai 27,5 juta Gulden.

Kesultanan-kesultanan mulai melepaskan diri dari Kesultanan Siak, dimulai oleh Serdang dan Deli pada 1862, diikuti Langkat, Asahan, dan lainnya. Otonomi ini memudahkan pemberian konsesi lahan kepada perusahaan asing. Sultan Langkat memberikan 34 akte konsesi, Sultan Serdang 36 akte, dan Sultan Asahan 19 akte.

Hasil sewa lahan digunakan untuk pembangunan infrastruktur seperti Istana Deli di Medan (1891), Masjid Raya Al Mashun (1909), serta fasilitas umum seperti kantor pos, bank, dan jaringan kereta api. Kilang minyak di Pangkalan Brandan menjadi cikal bakal Royal Dutch Shell, menjadikan Langkat sebagai kesultanan terkaya.


Halaman:

Komentar