Sukri:
HAM melihat manusia sebagai makhluk yang punya batas, luka, dan kebutuhan biologis. Jika negara menugaskan seseorang jauh dari keluarganya berbulan-bulan, apakah negara juga menyediakan perlindungan moral?
HAM berkata: jangan biarkan manusia dipaksa menjadi malaikat. Carikan dia jalan tengah supaya tetap bermartabat.
Baron:
Jadi mut‘ah itu bukan soal dosa atau tidak dosa saja?
Sukri:
Ia soal menjaga manusia dari kehancuran moralnya sendiri.
Mut‘ah sebagai Pagar, Bukan Pelampiasan
Baron:
Suk… katakanlah ada seorang tentara yang tak bisa pulang berminggu-minggu. Ada seorang pekerja proyek seperti aku. Apakah mut‘ah bisa jadi jalan selamat?
Sukri:
Jika pakai kacamata Ja‘fari, ya, dalam keadaan darurat. Tapi harus jujur pada diri sendiri. Mut‘ah itu jalan sempit, bukan jalan raya. Ia pagar darurat—bukan taman bermain.
Jika dipakai untuk main-main, ia berubah menjadi racun. Tapi jika dipakai untuk menjaga diri, ia bisa jadi rahmat.
Di Titik Mana Kita Berdiri?
Senja menurun, cahaya terakhir memantul di permukaan danau.
Sukri menyesap kopi pelan, lalu menatap Baron yang mulai terlihat lebih tenang.
Sukri:
Semua kembali pada: di mana kau berdiri. Kau bisa berdiri di tepi Sunni, di tepi Ja‘fari, atau di jembatan yang ditawarkan Qaradawi.
Baron:
Dan jembatan itu mengatakan…?
Sukri:
Bahwa dalam sunyi seseorang yang jauh dari istrinya, Allah melihat kesulitannya. Dan syariat memberi jalan untuk mencegahnya jatuh. Mut‘ah bukan solusi untuk semua orang. Tapi bisa menjadi penyelamat bagi yang benar-benar terjepit.
Penutup: Sunyi yang Dijaga
Baron:
Suk… kadang aku merasa seperti hidup di dalam gua ketika jauh dari keluarga. Tapi malam ini, setelah bicara denganmu, rasanya gua itu punya pintu kecil ke cahaya.
Sukri:
Kita ini bukan malaikat, Bar. Kita hanya manusia yang berusaha tidak hancur. Islam tidak menutup pintu bagi yang berjuang. Ia cuma meminta kita jujur, adil, dan tidak menyakiti siapa pun dalam langkah kita.
Baron:
Terima kasih, Suk.
Sukri:
Terima kasih juga, Bar. Kita semua sedang berkayuh agar tetap jadi manusia.
Angin malam mulai turun.
Dua lelaki itu duduk diam, memandang Danau Singkarak yang memantulkan langit.
Di antara sunyi dan kopi yang hampir habis, percakapan mereka bukan lagi soal hukum—tapi soal mencari jalan pulang dalam diri masing-masing.
Penulis : Penggiat Pendidikan, Pemerhati Sosial dan Lingkungan Hidup.
Artikel Terkait
Harmonisasi Dua Raperwali Singkawang Dirapikan, Perkuat Struktur Organisasi Daerah
Vonisme Mati untuk Mantan PM Bangladesh: Babak Baru Krisis Politik Berdarah
Pemkab Turun Langsung Usai Warga Sakit Harus Ditandu 300 Meter
Walkout 4 Tokoh Warnai Audiensi Reformasi Polri