“Kita harus mulai waspada jika gejala bertahan lebih dari satu bulan,” kata Vera kepada kumparanMOM, Senin (8/12).
Ia membeberkan tanda-tandanya: flashback atau kilas balik kejadian yang berulang, mimpi buruk terus-menerus, reaksi panik histeris saat ada pemicu yang mengingatkan pada bencana. Bisa juga anak menjadi terlalu waspada, menghindari pembicaraan tentang kejadian itu, atau justru mati rasa secara emosional.
Paparan terhadap pemicu seperti bau lumpur, suara deras hujan, atau pemandangan lokasi bencana bisa memperparah keadaan. Itu sebabnya, memindahkan anak ke lingkungan yang lebih aman dan tenang adalah langkah krusial. Jauhkan mereka dari hal-hal yang mengingatkan pada trauma.
Nah, di titik ini, pendekatan yang tepat bukanlah terapi formal yang berat. Yang paling dibutuhkan adalah Psychological First Aid atau PFA.
“Intinya adalah membuat anak merasa aman, terhubung dengan orang lain, dan emosinya stabil. Tapi ingat,” tegas Vera, “semua ini baru bisa berjalan jika kebutuhan dasar mereka makan, minum, tempat tinggal sudah terpenuhi.”
Memang, dalam situasi darurat, keselamatan jiwa adalah nomor satu. Tapi di sisi lain, memberi perhatian pada kesehatan mental sejak dini adalah investasi berharga. Agar anak-anak yang selamat dari bencana hari ini, bisa tumbuh dengan jiwa yang juga kuat di masa depan.
Artikel Terkait
Libur Semester Ganjil 2025: Provinsi Mana yang Paling Cepat dan Paling Lama?
Diskon 30% Penginapan Vietnam, Mister Aladin Buka Promo hingga Akhir 2025
Aura Kasih Buka Suara Soal Perjuangan sebagai Ibu Tunggal Arabella
I Fashion Festival 2025: Dr. Ayu Raih Penghargaan di Tengah Sorotan Fashion Lokal