Tanggal 24 Juni 2025 lalu, langit menyaksikan sebuah pencapaian kecil yang punya makna besar. Roket Falcon 9 milik SpaceX meluncur membawa muatan khusus: satelit nano RIDU-Sat 1. Satelit mungil ini adalah buah kolaborasi Universitas Pertahanan RI, Berlin Nano Satellite Alliance, dan tentu saja BRIN. Sebuah langkah lagi, meski kecil, dalam perjalanan panjang Indonesia di orbit.
Kita semua tahu, data sekarang ibarat emas baru. Nilainya luar biasa, menentukan segalanya dari ekonomi sampai keamanan. Tapi di antara semua jenis data itu, ada satu yang krusial: data geospasial. Singkatnya, informasi tentang 'di mana'.
Citra satelit, peta digital, koordinat semuanya jadi dasar untuk mengambil keputusan penting. Mulai dari menghitung potensi panen, memantau kebakaran hutan, sampai mengawasi perbatasan. Nah, masalahnya, selama ini kita masih terlalu bergantung pada satelit milik negara lain. Ini bukan cuma soal teknis, lho. Lebih dalam dari itu, ini menyangkut kedaulatan informasi kita sendiri.
Dua Risiko Bergantung pada Orang Lain
Pertama, soal ketidakpastian. Coba bayangkan saat bencana datang. Kita butuh citra cepat untuk melihat daerah yang terdampak. Tapi kalau mengandalkan satelit asing, dapat datanya kapan? Belum tentu sesuai dengan timing yang kita butuhkan. Ambil contoh banjir di Bali akhir 2025 silam. Susah sekali dapat citra satelit yang bisa diakses publik secara gratis dan cepat untuk mitigasi.
Kedua, ini yang lebih pelik: kerentanan geopolitik. Dalam situasi krisis atau ketegangan, negara pemilik satelit pasti akan mendahulukan kepentingannya sendiri. Akses bisa saja dibatasi atau malah diputus. Alhasil, kita berisiko mengalami 'kebutaan' di wilayah sendiri saat paling membutuhkan informasi.
Peta Dunia yang Sudah Berubah
Perlu disadari, lanskap industri satelit global sudah bergeser drastis. Dulu, ini adalah arena para lembaga antariksa pemerintah macam NASA atau ESA. Sekarang, perusahaan swasta mendominasi.
Lihat saja SpaceX. Mereka menawarkan jasa peluncuran roket dengan harga yang jauh lebih efisien, dan banyak negara termasuk kita memakainya. Di sisi lain, untuk data citra satelit, perusahaan seperti Planet Labs, Maxar, dan Airbus punya ratusan satelit pemantau Bumi yang beroperasi secara komersial.
Planet Labs saja punya lebih dari 200 satelit yang memotret seluruh permukaan Bumi setiap hari. Mereka dan para pesaingnya tidak lagi sekadar jual data mentah. Kini, yang mereka tawarkan adalah analisis siap pakai: dari mendeteksi kapal ilegal sampai memprediksi hasil panen dengan bantuan Kecerdasan Buatan.
Intinya, apa yang dulu jadi bahan riset kampus, sekarang telah berubah menjadi produk komersial yang diperjualbelikan. Kalau kita tidak punya sumber data nasional yang mandiri, ya konsekuensinya jelas: para peneliti dan pelaku di dalam negeri hanya akan jadi pengguna, bukan pengembang teknologi.
Artikel Terkait
Siklon Bukan Bencana Alam, Melainkan Cermin Kelalaian Kita
Planetarium Jakarta Kembali: Nostalgia atau Kebutuhan Kota yang Lapar Kontemplasi?
Konsumen Tahan Beli Gadget, Menunggu Harga Turun di Tengah Kelangkaan RAM
China Siapkan Aturan Ketat untuk AI yang Berperilaku Seperti Manusia