Siklon Bukan Bencana Alam, Melainkan Cermin Kelalaian Kita

- Selasa, 30 Desember 2025 | 19:06 WIB
Siklon Bukan Bencana Alam, Melainkan Cermin Kelalaian Kita

Bencana terlalu sering kita lihat sebagai peristiwa, bukan proses. Banjir disebut musiman, longsor dianggap musibah, siklon dilihat sebagai kejadian langka. Padahal, semua itu adalah puncak dari proses panjang: penggundulan hutan yang bikin tanah tak bisa serap air, urbanisasi yang mengabaikan daya dukung lingkungan, sungai yang dipersempit, dan wilayah rawan yang dipaksa menampung aktivitas manusia. Saat hujan ekstrem atau siklon datang, ia cuma membuka borok yang sudah lama menganga.

Menurut sejumlah pakar, sekat antar disiplin ilmu juga masih terlalu tebal. Meteorolog bicara peta dan model, perencana wilayah bicara zonasi, ekonom bicara angka pertumbuhan. Kebijakan publik punya dunianya sendiri. Jarang sekali semua pengetahuan ini duduk dalam satu meja yang sama. Akibatnya, peringatan dini cuma jadi informasi sesaat. Ia tak pernah jadi pijakan untuk perubahan yang lebih struktural.

Kemunculan siklon di sekitar kita seperti Siklon Tropis Bakung harusnya jadi cermin. Bukan cuma soal kecepatan angin atau lintasannya, tapi lebih pada kesiapan kita berpikir lintas batas. Sudahkah informasi iklim jadi fondasi pembangunan? Atau jangan-jangan, kampus dan pusat riset cuma berhenti pada publikasi, tanpa pernah menerjemahkan sains itu untuk pengambil kebijakan dan masyarakat luas?

Perubahan iklim itu jarang datang dengan gebrakan dramatis. Ia lebih sering menggerogoti asumsi-asumsi kita pelan-pelan. Ketika siklon makin mendekati wilayah yang dulu dianggap aman, sebenarnya yang sedang diuji bukanlah alam. Melainkan cara kita memahami risiko. Di dunia yang batas iklimnya makin kabur, bertahan hidup bukan soal mengandalkan kekuatan alam. Tapi soal ketepatan pengetahuan dan keberanian untuk mengubah pola pikir.

Kalau siklon terus kita pahami semata sebagai bencana alam, maka siklusnya akan selalu sama: panik, bantuan darurat, lalu... lupa. Tapi kalau kita berani melihatnya sebagai bencana pengetahuan, pertanyaannya berubah. Pengetahuan apa yang gagal kita gunakan? Sistem apa yang harus dibenahi? Dari situlah pembelajaran sesungguhnya harus dimulai bukan menunggu bencana berikutnya, tapi dengan mengakui kesalahan kita hari ini.


Halaman:

Komentar