Fakta di Indonesia pun cukup mengkhawatirkan. Retno menyebut, negeri ini masuk dalam 10 besar negara dengan jumlah korban anak tertinggi dalam kasus kekerasan seksual online. Tak sedikit kasus terjadi karena anak mudah dijangkau pelaku di ruang digital.
Nah, di sisi lain, Australia bukanlah satu-satunya yang bergerak. Retno menyebut negara seperti Denmark dan Malaysia juga mulai akan menerapkan pembatasan serupa. Mereka bersikap tegas karena melihat bahayanya nyata dan mendesak.
Lalu bagaimana dengan Indonesia? Sebenarnya, sudah ada Peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun 2025 (PP Tunas) yang mengatur perlindungan anak di dunia digital. Namun begitu, sanksinya dinilai belum cukup memberi efek jera. Bandingkan dengan Australia yang bisa mengenakan denda fantastis, mencapai Rp 548 miliar, bagi platform yang bandel memberi akses ke anak di bawah umur.
Karena itulah, Retno menilai pembatasan usia pengguna media sosial layak diadopsi di sini. Terutama sebagai bentuk perlindungan saat orang tua tak punya cukup waktu atau kemampuan untuk mengawasi.
"Untuk melindungi anak-anak, ketika orang tua tidak berdaya, memang negara harus hadir," tegas Retno.
Artikel Terkait
Gelombang Larangan Media Sosial untuk Anak-Anak: Akankah AS Akhirnya Ikut Arus Global?
IndiHome TV Resmi Hadirkan BBC News dan CBeebies untuk Pemirsa Indonesia
Jalan Tol Dinosaurus di Bolivia: 16.600 Jejak Kaki Ungkap Jalur Migrasi Raksasa Purba
AI 2026: Dari Asisten Digital ke Agen Otonom yang Bekerja Sendiri