Hujan mengguyur deras, diiringi teriakan angin dan cahaya petir yang menyilaukan. Semua penghuni rumah terlelap. Kecuali Lala. Gemuruh itu membuatnya ketakutan setengah mati.
Ia merayap sendirian ke arah dapur, mencoba mencari kehangatan dengan menyangkutkan cakar di gorden. Tiba-tiba Braak! angin kencang menerjang pintu belakang yang ternyata tak terkunci. Pintu itu terbuka lebar, menghujankan air hujan ke lantai. Angin dingin menerpa, membuat tubuh kecil Lala menggigil hebat. Ia mundur, tapi kakinya terpeleset. Hampir saja ia terlempar keluar.
Kebetulan, Toto terbangun karena suara berisik itu. Dari kejauhan, ia melihat sosok putih itu hampir tersapu angin.
“Lala!” teriaknya spontan.
Tanpa pikir panjang, Toto melesat. Ia menggigit tengkuk Lala dan menariknya kembali ke dalam, persis sebelum angin menerkam. Nafasnya terengah, bulu keduanya basah kuyup.
Keributan itu membangunkan Nini dan Bubu. Mereka berdua terkejut melihat Lala gemetaran tak karuan.
Moka datang. Matanya berkaca-kaca.
“Lihatlah dia,” bisik Moka lirih. “Dia tidak punya siapa-siapa. Hanya kita.”
Hening sejenak. Hanya deru hujan yang menjadi latar.
Nini akhirnya maju. Pelan-pelan, ia menjilati kepala Lala yang basah. “Kamu pasti sangat takut…” ujarnya, suaranya bergetar.
Bubu menunduk. Rasa bersalah yang tak enak menggerayangi hatinya. Sementara Toto, dengan ekornya, memeluk tubuh Lala yang masih menggigil, mencoba menghangatkannya.
Sejak malam itu, segalanya berubah. Perlahan tapi pasti.
Keesokan paginya, Bubu meletakkan sepotong ikan kecil di hadapan Lala. “Ini… untukmu,” katanya, agak canggung.
Lala terkejut. Matanya berbinar. “Terima kasih, Kak.”
Ucapan itu memancing senyum tipis pertama Bubu untuknya.
Hari berganti hari. Ikatan mereka menguat. Nini dengan sabar mengajari Lala cara mengejar bayangan. Bubu mengajaknya memanjat pohon rendah di halaman. Dan Toto? Yang dulu paling keras menolak, kini jadi pelindungnya yang paling galak. “Kalau ada kucing lain ganggu dia, aku yang hadapi duluan!” serunya penuh kebanggaan. Lala hanya bisa tertawa kecil, hati terasa hangat.
Ia tak lagi tidur di sudut dapur. Sekarang, ada tempatnya di tumpukan bantal hangat, bersandar di antara ketiga kakaknya.
Akhirnya, Sebuah Pelukan
Di sebuah sore yang cerah, sinar matahari keemasan menyapu halaman rumput. Keempat anak kucing itu berlarian, mengejar kupu-kupu, berguling-guling dengan riang. Lala, yang dulu datang membawa ketakutan, kini tertawa paling lepas.
Ia bukan tamu asing lagi. Sudah lama bukan.
Ia adalah keluarga.
Bubu, Nini, dan Toto berdiri di samping Moka, menyaksikan Lala berlari-lari. Moka tersenyum lega. “Keluarga kita,” bisiknya, “sekarang lebih lengkap dan lebih hangat.”
Angin sore berhembus lembut. Rumah itu bukan sekadar bangunan dengan dinding dan atap. Ia telah menjadi tempat di mana hati-hati kecil belajar membuka diri, memberi ruang, dan akhirnya saling merengkuh.
Karena pada akhirnya, keluarga sejati tidak selalu ditentukan oleh ikatan darah. Melainkan oleh ikatan kasih yang tumbuh perlahan, lalu menguat tanpa disadari.
Artikel Terkait
Sudirman-Thamrin Bebas Kendaraan Malam Ini, 2.000 Personel Amankan Perayaan Tahun Baru
PSSI Siapkan Dua Belas Naturalisasi untuk Impian Herdman di Piala Asia 2027
Honda Brio RS Manual Diprediksi Pamit, Pasar Kota Besar Sudah Tak Minat
Derap Pameran Otomotif 2025: Gaikindo Siap Gelar Enam Ajang Internasional