PVJ: Museum Kesenjangan dan Ritual Mingguan Kaum Numpang

- Selasa, 23 Desember 2025 | 23:06 WIB
PVJ: Museum Kesenjangan dan Ritual Mingguan Kaum Numpang

Kalau kamu ke Bandung, rasanya belum lengkap tanpa mampir ke PVJ. Atau lengkapnya, Paris Van Java Resort Lifestyle Place. Tapi jangan bayangkan ini cuma mal biasa. Tempat ini lebih dari sekadar tumpukan toko dan beton. Sejak dibuka, ia menjelma jadi semacam "Museum Kesenjangan" yang dikelola dengan sangat profesional. Ada AC dingin, sistem parkir canggih, bahkan air terjun buatan yang estetis. Intinya, PVJ adalah monumen paling jujur soal kepura-puraan finansial kita. Sebuah koloseum tempat warga Bandung Raya menjalankan ritual mingguan: Simulasi Kelas Menengah.

Di kota ini sekarang, status sosial nggak lagi dilihat dari kontribusi atau kerja keras. Tapi dari seberapa sering kamu check-in di kafe yang lagi hits, dan tentu saja, dari frekuensi kamu nongkrong di koridor PVJ.

Orang datang ke sini jelas bukan untuk beli kebutuhan sehari-hari. Mereka datang untuk beli prestise. Untuk ikut serta dalam sebuah pertunjukan sosial besar-besaran. Tiket masuknya? Kemacetan parah di sepanjang Jalan Sukajadi.

Kasta Retail dan Medan Magnet Penolak Kaum Kere

PVJ dengan cukup brutal membagi pengunjungnya jadi dua kasta. Pembagiannya nyata, terasa banget. Dipisahkan oleh karpet yang lebih empuk dan pintu kaca yang tebal dan dingin.

Pertama, ada Konsumen Sejati. Mereka ini kaum yang belanja pakai kartu kredit tanpa perlu melirik label harga. Mereka bebas menyusuri lorong-lorong yang dihiasi brand mewah nama-nama yang kadang kita sebut pelan karena sungkan. Hermès, Louis Vuitton, atau gerai fast fashion impor yang harga kaos polosnya bisa setara cicilan motor bebek.

Nah, bagi kami Kaum Numpang toko-toko itu adalah zona larangan. Pintu kacanya seolah punya Medan Magnet Penolak Kaum Kere. Rasa takutnya itu lho, sublim. Bukan takut ditangkap satpam, tapi lebih takut dihakimi sama tatapan pramuniaganya yang berdiri kaku bagai patung. Kita jadi gentar sendiri, khawatir harga diri tercabik saat mata iseng membaca label harga yang jumlahnya fantastis.

Kasta kedua ya kami ini: Kaum Numpang atau Selfie Hunters. Kami mayoritas. Dompet mungkin tipis, tapi baterai smartphone harus penuh. Gerombolan kami sibuk hunting spot foto yang instagramable. Targetnya bukan barang belanjaan, melainkan konten untuk media sosial.

Kami ini praktisi lapangan dari teori Jean Baudrillard soal simulacra. Hidup dalam citra yang kadang terasa lebih nyata daripada kenyataan. Memamerkan gaya hidup yang sebenarnya cuma numpang lewat. Setelah muter-muter setengah jam, ujung-ujungnya cuma singgah di tiga tempat suci: bioskop, Gramedia, dan toilet.

Tiga Titik Suci ini yang ironisnya jadi penyelamat aspirasi kami.

Bioskop itu investasi hiburan paling efisien. Dengan duit relatif sedikit, kita bisa beli ilusi kemewahan selama dua jam. Duduk manis di kursi empuk ber-AC, sambil mengunyah popcorn yang tiba-tiba terasa premium.


Halaman:

Komentar