Di area luar, pedagang es dawet sudah sibuk sejak tadi. Rasanya yang manis-segar selalu jadi buruan, baik oleh warga lokal maupun pelancong. Sementara itu, toko oleh-oleh di sekitarnya menawarkan aneka camilan khas Solo, menjadikan kawasan ini tempat strategis untuk mencari buah tangan.
Menariknya, Pasar Gede kini memang ramai dikunjungi wisatawan. Kamera ponsel kerap menyorot tumpukan cabai atau senyum pedagang. Tapi pasar ini tak lantas berubah jadi panggung pertunjukan. Aktivitas utamanya tetap berjalan seperti biasa, seolah menyiratkan pesan: tempat ini ada pertama-tama untuk warga Solo, baru kemudian untuk dilihat orang lain.
Di sisi lain, di era mal megah dan belanja online, Pasar Gede membuktikan bahwa ruang tradisional tak identik dengan keterbelakangan. Ia justru menawarkan sebuah alternatif: ekonomi yang dibangun dari kedekatan, budaya yang hidup dalam ritual harian, serta pertumbuhan kota yang tak perlu memutus akar dengan masa lalunya sendiri.
Berjalan keluar dari keramaian Pasar Gede, yang kita bawa pulang bukan cuma kantong belanja. Ada semacam kesadaran, bahwa kota sesungguhnya hidup dari ruang-ruang seperti ini. Tempat yang tampak sederhana, namun menyimpan cerita panjang tentang cara manusia bertahan, berubah, dan tetap terhubung satu sama lain.
Pelajaran penting dari sini sederhana: menjadi modern tak selalu berarti menyingkirkan yang lama. Kadang, justru sebaliknya. Modernitas sejati mungkin terletak pada kemampuan untuk tahu, apa yang patut kita pertahankan.
Vania Filma Putri Prasita/Ilmu Komunikasi UNS
Artikel Terkait
BTN Pacu Kinerja, Aset Tembus Rp504 Triliun Jelang Akhir 2025
Mandalika Panas: Dari Sirkuit MotoGP ke Mesin Ekonomi Kawasan
Surplus Dagang Jepang Pacu Spekulasi Kenaikan Suku Bunga BOJ
Gus Ipul Serahkan Santunan Rp15 Juta untuk Korban Banjir di Sumatera