“Kebijakan ini memicu efek berantai. Beberapa IKM sudah melaporkan penundaan pesanan dari pembeli Amerika, belum lagi kenaikan biaya logistik yang ikut membebani,” tutur Reni.
Di sisi lain, Ditjen IKMA tak tinggal diam. Mereka membuka peluang pasar alternatif lewat jalur diplomasi dan negosiasi. Yang tak kalah penting, penguatan kapasitas pelaku IKM juga digenjot. Edukasi difokuskan pada pemahaman standar mutu dan keamanan di negara tujuan, termasuk pemilihan bahan baku yang ramah lingkungan.
Reni menekankan, pemilihan bahan finishing menjadi poin krusial. Negara seperti Jerman, Belanda, dan Kanada punya regulasi ketat terkait emisi senyawa kimia berbahaya semacam VOC (Volatile Organic Compound). Belum lagi standar formaldehida EPA, Sertifikasi ECO Mark dari Jepang, hingga sertifikasi Dubai Central Laboratory (DCL). Semua itu harus dipenuhi.
Secara angka, nilai ekspor furnitur memang masih menunjukkan tren positif. Hingga triwulan II-2025, angkanya mencapai USD0,92 miliar, naik tipis dari periode yang sama tahun sebelumnya yang sebesar USD0,91 miliar. Namun, ketergantungan pada AS masih tinggi. Negeri Paman Sam masih menempati posisi sebagai pasar terbesar dengan porsi 54,6%.
Sektor kerajinan juga tak mau kalah. Di triwulan II-2025, nilai ekspornya tercatat USD173,49 juta, tumbuh 9,11% secara tahunan. Kabar yang cukup melegakan di tengah tekanan global.
Nia Deviana
Artikel Terkait
Mitsubishi eK X EV Tak Kunjung Meluncur, Pasar Indonesia Dinilai Belum Siap
Karier ASN Makin Cepat, Kenaikan Pangkat Kini Bisa 12 Kali Setahun
OJK Minta Bank Tak Buru-buru Turunkan Suku Bunga
Higashiyama Tepis Wacana SEA Games, Fokus Garuda Pertiwi Hancurkan Nepal dan Taiwan