Banjir Kayu di Sumatera: Bencana Buatan Manusia yang Telah Diperingati

- Sabtu, 13 Desember 2025 | 21:50 WIB
Banjir Kayu di Sumatera: Bencana Buatan Manusia yang Telah Diperingati

Gelombang banjir dan tanah longsor yang menerjang Aceh, Sumatera Utara, hingga Sumatera Barat beberapa waktu lalu meninggalkan duka yang dalam. Korban jiwa terus berjatuhan, mencapai lebih dari seribu orang. Rumah-rumah hancur, infrastruktur porak-poranda. Tapi, benarkah ini hanya musibah alam semata?

Bagi Dandhy Laksono, jurnalis investigasi yang lama menyoroti isu lingkungan, jawabannya jelas: tidak. Dalam sebuah podcast bersama Richard Lee, ia menyebut rangkaian bencana ini sebagai "bencana buatan manusia".

"Ini bukan banjir air, tapi banjir kayu. Banjir logging," tegas Dandhy.

Suaranya terdengar getir. Ia menekankan, kayu-kayu yang menghantam permukiman warga itu bukan jatuh dari langit. Mereka punya tanda, ada nama perusahaannya. Ini, kata dia, adalah buah dari pembiaran deforestasi dan perampokan hutan yang sistematis.

Dandhy lalu membuat perbandingan yang tajam. Tsunami Aceh 2004, menurutnya, adalah natural disaster bencana alam murni. Sementara yang terjadi sekarang ini adalah political disaster. Akar masalahnya ada pada keputusan-keputusan politik yang mengabaikan kelestarian lingkungan.

Yang memilukan, respons negara kali ini dinilainya justru lebih lamban. Bayangkan, saat tsunami dulu, bantuan internasional membanjir dalam hitungan hari. Sekarang? Lebih dari sepuluh hari pascabencana, masih ada wilayah yang gelap gulita, belum tersentuh bantuan.

Lima Gelombang Perampokan

Menurut catatan Dandhy, kerusakan hutan di Indonesia bukanlah hal yang kebetulan. Ia memaparkan setidaknya ada lima gelombang besar deforestasi pascakemerdekaan. Dimulai dari era migas di tahun 50-an, disusul logging lewat HPH, lalu tambang batubara, ekspansi sawit monokultur yang masif, dan yang terbaru: demam nikel untuk industri kendaraan listrik.

Yang jadi poin penting: "Tidak ada satu pun gelombang deforestasi besar itu dilakukan oleh rakyat," ujarnya. Semua highly regulated, punya izin, melibatkan perusahaan besar dengan restu negara.

Karena itu, kalau ada yang bertanya siapa dalang perampok hutan, jawaban Dandhy blak-blakan. "Kalau mau jujur, kita dirampok oleh pemerintah kita sendiri."

Sistem pertanahan kita, lanjutnya, ikut meminggirkan masyarakat adat. Tanah yang tak bersertifikat dianggap tanah negara, lalu dengan mudah dibagi-bagikan lewat Hak Guna Usaha. "Mana masyarakat adat punya kertas?" tanyanya retoris.

Peringatan yang Ditelantarkan

Ironisnya, bencana ini sebenarnya sudah diantisipasi. Dandhy mengungkap, aktivis lingkungan di Aceh sudah 17 kali mengirim surat peringatan ke pemerintah. Dilengkapi data satelit, foto drone, koordinat GPS yang jelas tentang deforestasi di kawasan suaka margasatwa. Hasilnya? Nihil. Diabaikan.


Halaman:

Komentar