Polusi Udara Jabodetabek: Ancaman Serius bagi Kesehatan dan Solusi Transportasi Publik
Pertemuan Tinggi PBB ke-80 di New York pada September 2025 menempatkan isu Penyakit Tidak Menular (PTM) dan kesehatan mental sebagai agenda prioritas global. Negara-negara anggota, termasuk Indonesia, berkomitmen untuk menyepakati deklarasi politik baru yang menekankan hubungan antara kesehatan, lingkungan, dan polusi udara. WHO memperkirakan polusi udara menyebabkan 4,2 juta kematian dini secara global pada 2019.
Di Indonesia, ancaman polusi udara sangat nyata, terutama bagi penduduk urban di wilayah Jabodetabek. Setiap hari, manusia mengonsumsi sekitar 11.000 liter udara, menjadikan kualitas udara sebagai faktor penentu kesehatan yang tidak bisa diabaikan.
Deklarasi Global dan Dampak Polusi Udara di Jabodetabek
Deklarasi politik PBB yang keempat memperluas fokus pada determinan lingkungan kesehatan, termasuk polusi udara. Salah satu rekomendasinya adalah mendorong sistem transportasi publik yang bersih dan terintegrasi. Indonesia telah menyatakan dukungan terhadap deklarasi ini, menegaskan komitmennya dalam penanganan PTM dan kesehatan mental.
Namun, di tingkat lokal, polusi udara telah menjadi krisis harian. Jakarta sering mencatat Indeks Kualitas Udara (AQI) antara 140-180, menempatkannya di peringkat ketujuh kota paling berpolusi di dunia. Tingkat PM2.5 di ibu kota bisa delapan kali lipat dari ambang batas aman WHO. Kota penyangga seperti Tangerang Selatan (AQI 172), Depok (AQI 158), dan Bekasi (AQI 154) juga tidak luput dari ancaman ini.
Dampak Kesehatan: Kematian Dini hingga Gangguan Mental
Paparan polusi udara meningkatkan risiko kematian dini dan penyakit serius seperti jantung, stroke, PPOK, kanker paru-paru, dan ISPA. Sebuah penelitian tahun 2023 memperkirakan setidaknya 10.000 kematian dini terjadi di Jakarta setiap tahunnya akibat polusi udara.
Anak-anak adalah kelompok yang paling rentan. Terdapat hubungan signifikan antara peningkatan PM2.5 dengan kasus ISPA pada balita. Lebih mengkhawatirkan, polusi udara juga berdampak pada kesehatan kognitif dan mental, meningkatkan risiko depresi, gangguan kecemasan, gangguan bipolar, dan penyakit Alzheimer melalui mekanisme neuroinflamasi dan akumulasi beta-amyloid di otak.
Artikel Terkait
Remaja Palestina Tewas Tertembak dalam Penggerebekan Israel di Tepi Barat
BMKG Catat 40.000 Gempa Sepanjang 2025, Hanya 24 yang Merusak
Pratikno: Huntara Jadi Prioritas Utama Pasca-Banjir di Tiga Provinsi
600 Tenaga Medis Diterjunkan ke Aceh, Sumut, dan Sumbar Secara Bergilir