Gagasan soal koalisi permanen kembali mencuat. Kali ini, disuarakan langsung oleh Ketua Umum DPP Golkar, Bahlil Lahadalia, dalam pidato peringatan HUT partainya yang ke-61. Menurutnya, koalisi semacam ini penting banget untuk menciptakan stabilitas politik, menghentikan sikap oportunis partai, dan tentu saja, mengokohkan legitimasi sebuah pemerintahan di tengah sistem demokrasi.
Lalu, apa sih maksudnya? Intinya, koalisi permanen itu adalah kesepakatan partai-partai pendukung capres dan cawapres untuk tetap solid. Komitmennya dijaga dari awal pencalonan, lewat masa kampanye, hingga nanti ketika menang dan membentuk pemerintahan. Tidak ada yang melompat keluar atau masuk seenaknya.
Bahlil sendiri dengan tegas menyatakan bahwa koalisi permanen adalah bentuk kerangka koalisi yang benar. Baginya, ini adalah pengejawantahan prinsip politik yang kuat sekaligus cerminan sikap "gentlemen" dalam berpolitik.
Nah, wacana ini sebenarnya punya daya tarik tersendiri. Di luar soal peneguhan prinsip dan sikap, koalisi permanen disebut-sebut bakal membawa setidaknya tiga implikasi besar bagi demokrasi kita.
Pertama, soal stabilitas. Koalisi semacam ini diyakini bisa mendorong terwujudnya pemerintahan yang stabil. Kok bisa? Karena partai-partai di dalamnya sudah punya visi dan misi yang sama, yang tidak cuma terpatri di atas kertas kesepakatan, tapi juga menyatu dalam "alam kebatinan" mereka. Kesamaan inilah yang jadi landasan perjuangan memenangkan kontestasi, dan kemudian, landasan kokoh untuk membangun pemerintahan.
Selanjutnya, yang tak kalah penting adalah tahap pengelolaan pemerintahan itu sendiri. Mengelola negara harus selaras dengan upaya menjaga stabilitas politik. Kenapa stabilitas ini dianggap fondasi? Jawabannya sederhana: di atas fondasi yang kuat, ekonomi bisa tumbuh, program prioritas bisa dijalankan, pembangunan berlangsung, dan rasa aman warga negara terjamin.
Tapi tentu, stabilitas politik bukanlah sesuatu yang jatuh dari langit. Ia butuh komitmen nyata, terutama dari partai-partai yang duduk di parlemen. Di sinilah ikatan visi dan "alam kebatinan" tadi menjadi modal berharga. Masuknya partai lain yang sebelumnya berseberangan, yang tak pernah terlibat dalam proses membangun ikatan itu, berisiko mengganggu kenyamanan dan stabilitas internal koalisi.
Pernyataan Ketua Harian DPP Partai Gerindra, Sufmi Dasco Ahmad, di media sosial pada 28 Oktober 2025 lalu, seolah menyentil fenomena ini.
Kalimat itu menggambarkan betapa pentingnya komitmen dari awal. Dan di situlah letak nilai sebuah koalisi permanen: ia menjaga komitmen itu dengan memastikan kenyamanan dan keselarasan di antara partai koalisi. Efek stabilisasinya juga diharapkan tak cuma di pusat, tapi merata ke daerah, mencegah "split coalition" sehingga program nasional bisa jalan lebih efektif.
Artikel Terkait
KPK Periksa Ulang Yaqut, Usai Tim Penyidik Pulang dari Arab Saudi
Pengacara Bantah Keras Nadiem Diuntungkan Rp 809 Miliar dari Proyek Chromebook
Vonis Seumur Hidup untuk Ayah dan Anak Pembunuh Sopir Taksi Online di Medan
Bangkok Beri Syarat: Kamboja Harus Lebih Dulu Teken Gencatan Senjata