Implikasi kedua adalah pencegahan oportunisme. Dalam kontestasi politik mana pun, selalu ada yang menang dan kalah. Pemenang memegang kekuasaan, yang kalah menjalankan fungsi "checks and balances". Koalisi permanen justru mempertegas pemisahan peran ini; blok pemenang dan penyeimbang jelas batasnya.
Meski begitu, bukan berarti tak ada ruang untuk kompromi. Dalam sistem multipartai, konsensus tetap penting. Hanya saja, kompromi itu harus lahir dari kesamaan visi, bukan dari niat cari suaka politik atau kepentingan sesaat. Seperti diungkapkan Bahlil, dengan koalisi permanen, diharapkan tidak ada lagi fenomena koalisi "on/off" atau "in/out", di mana partai mendekat ke koalisi pemenang setelah pemilu usai, lalu menjauh ketika pemilu berikutnya akan digelar karena punya calon sendiri.
Kalau pola "on/off" ini terus berulang, yang kita saksikan hanyalah teater oportunisme dengan partai politik sebagai pemain utamanya.
Ketiga, hal yang paling mendasar: legitimasi. Koalisi permanen disebut dapat memperkuat legitimasi pemerintahan. Pemilu, sebagai pesta demokrasi, akan menjadi ruang yang jernih bagi rakyat untuk memberi "reward" dan "punishment". "Reward" buat koalisi pemenang adalah kursi kekuasaan, sementara "punishment" bagi yang kalah adalah posisi sebagai penyeimbang. Dengan begitu, demokrasi tidak terjebak pada hal-hal prosedural belaka.
Idealitas ini sulit terwujud jika konfigurasi koalisi sebelum dan sesudah pemilu berbeda, bahkan bisa jadi lawan bertanding berubah menjadi kawan bersanding. Dampaknya? Rakyat jadi tidak percaya pada proses pemilu dan demokrasi itu sendiri, yang ujung-ujungnya melemahkan legitimasi pemerintahan yang terbentuk. Koalisi permanen hadir sebagai salah satu jawaban untuk menjaga amanah rakyat sekaligus mengokohkan legitimasi tersebut.
Ketiga implikasi itulah yang membuat wacana koalisi permanen terasa relevan dengan agenda penguatan demokrasi. Pada akhirnya, demokrasi yang sehat butuh stabilitas pemerintahan, pencegahan oportunisme, dan legitimasi yang kuat. Dan semua itu, setidaknya menurut gagasan Bahlil Lahadalia, termaktub dalam konsep koalisi permanen.
Sebagai catatan, pidato yang memantik kembali wacana ini disampaikan dalam acara HUT ke-61 Partai Golkar di Istora Senayan, Jakarta, pada 5 Desember 2025 lalu. Acara tersebut juga dihadiri oleh Presiden Prabowo Subianto dan Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka.
Ilham Akbar Mustafa
Wakil Ketua Umum Pimpinan Pusat Angkatan Muda Partai Golkar
Artikel Terkait
KPK Periksa Ulang Yaqut, Usai Tim Penyidik Pulang dari Arab Saudi
Pengacara Bantah Keras Nadiem Diuntungkan Rp 809 Miliar dari Proyek Chromebook
Vonis Seumur Hidup untuk Ayah dan Anak Pembunuh Sopir Taksi Online di Medan
Bangkok Beri Syarat: Kamboja Harus Lebih Dulu Teken Gencatan Senjata