Korupsi Menggerogoti Transisi Energi, Target Net Zero Terancam

- Senin, 15 Desember 2025 | 09:50 WIB
Korupsi Menggerogoti Transisi Energi, Target Net Zero Terancam

Momentum Hari Antikorupsi Sedunia baru-baru ini sudah lewat. Tema tahun ini, 'Satukan Aksi, Basmi Korupsi', seharusnya jadi pengingat keras bagi kita semua. Di Indonesia, perjuangan melawan korupsi ini ternyata merambah ke sektor yang sedang panas dibicarakan: transisi energi dan sumber daya alam.

Ambisi kita beralih dari energi fosil ke energi terbarukan memang krusial. Tapi, di balik semua wacana hijau dan proyek raksasa itu, korupsi masih jadi momok yang nyata. Ia bukan ancaman di awang-awang lagi. Praktik busuk ini sudah menyusup ke dalam proyek-proyek transisi energi, menggerogoti dana, dan mengancam target internasional seperti Paris Agreement.

Jadi, mustahil rasanya bicara tentang transisi yang adil kalau kita tutup mata soal korupsi. Musuh bersama ini harus dihadang sejak dini. Kalau tidak, semua rencana mulia untuk selamatkan bumi bisa berantakan di tengah jalan.

Nah, coba lihat fakta di lapangan. Di Bandung, awal Mei lalu, ada diskusi serius yang menyoroti 'climate corruption'. Intinya, korupsi dinilai sebagai penghambat utama buat capai target pembangunan, termasuk urusan mitigasi perubahan iklim. Ironis, bukan? Proyek-proyek hijau yang seharusnya menyelamatkan malah jadi lahan basah bagi koruptor.

Ini bukan isu baru sebetulnya. Lihat saja proyek energi terbarukan atau eksploitasi mineral kritis macam nikel. Menurut pantauan Indonesia Corruption Watch (ICW) tahun ini, bisnis transisi energi itu rentan banget. Potensi mark-up harga, tender yang diatur, sampai konflik kepentingan, semuanya mengintai.

Contoh nyatanya? Skandal di Pertamina Mei 2025 kemarin cukup mengguncang. Pejabat tinggi diduga main kotor dalam pengadaan kilang minyak dan main-main dengan laporan keuangan proyek senilai triliunan. Rugi negara sih pasti. Tapi yang lebih parah, halangan buat transisi ke energi bersih jadi makin besar karena dananya menguap.

Kasus-kasus lama juga masih relevan dijadikan pelajaran. Ambil contoh korupsi proyek tenaga surya di Kutai Timur tahun 2020. Dana Rp 53,6 miliar yang seharusnya untuk desa terpencil malah dipakai beli mobil mewah. Atau kasus PLTS untuk daerah transmigrasi di 2008 yang melibatkan keluarga elite politik. Modusnya mungkin beda, tapi akar masalahnya sama: keserakahan.

Di sektor mineral kritis, ceritanya mirip. OTT KPK terhadap Gubernur Maluku Utara tahun 2023 terkait suap perizinan nikel, plus eksploitasi ilegal di konsesi PT Antam, jadi bukti bahwa transisi energi bisa disalahgunakan. Bahkan dana transisi energi seperti Danantara yang ramai dibicarakan Maret lalu, disebut-sebut berpotensi jadi celah korupsi baru kalau pengawasannya lembek.

Efek korupsi di sektor SDA ini ngeri banget. Ia nggak cuma bikin transisi energi tersendat, tapi juga picu bencana alam. Ambil contoh banjir bandang dan longsor di Aceh, Sumut, dan Sumbar akhir November lalu. Sungai-sungai dipenuhi kayu gelondongan dan sampah plastik. Itu jelas jejak aktivitas manusia, bukan fenomena alam biasa.

Penyebab utamanya? Deforestasi massal akibat penebangan liar, sawit ilegal, dan tambang tanpa izin. Di balik semua itu, praktik suap perizinan dan pengawasan yang lemah oleh oknum pejabat selalu hadir. Kajian KPK menyebut kerugian negara dari penebangan liar bisa mencapai Rp 35 triliun per tahun. Deforestasi di Sumatera pada 2024 mencapai puluhan ribu hektar, yang jelas memperburuk kerentanan kita terhadap perubahan iklim.

Aktivitas serakah oligarki bisnis dan politik ini merusak hutan sebagai penyerap karbon. Alhasil, ketahanan nasional kita dalam menghadapi krisis iklim jadi makin lemah. Korupsi SDA, dengan kata lain, adalah penghalang langsung bagi target Net Zero Emission.


Halaman:

Komentar