Banjir bandang di Sumatra bukan cuma soal air yang meluap. Ini lebih dari sekadar bencana alam. Ada pesan kelam di baliknya: tabir keserakahan, sisi gelap kemanusiaan, dan kebijakan negara yang penuh lubang. Korban berjatuhan, kebanyakan rakyat kecil yang tak punya daya. Rasa takut, sedih, dan lelah mencekam hari-hari mereka yang dingin, penuh trauma.
Angkanya sungguh memilukan. Menurut catatan Pusdatin BNPB, korban meninggal sudah mencapai 712 orang, dengan 507 lainnya masih hilang (detikNews, 2/12/2025). Mereka diterjang gelombang air bah yang tak kenal ampun, seolah alam sedang murka.
Bencana ini juga menyorot sebuah pernyataan yang sempat viral. Beberapa waktu lalu, Presiden Prabowo pernah berseru, "Kita tidak perlu takut deforestasi."
Ucapan itu disampaikannya di depan TNI, Polri, dan para kepala daerah se-Indonesia pada 30 Desember 2024, saat mendorong perluasan kebun sawit. Banyak yang memaknainya sebagai garis kebijakan ekologis negara.
Namun begitu, pasca bencana dahsyat melanda, tampaknya ada kesadaran yang berubah. Pada puncak Perayaan Hari Guru Nasional 2025, Presiden merevisi pentingnya menjaga hutan. Prabowo memerintahkan guru-guru untuk menambahkan silabus pelajaran tentang kesadaran lingkungan.
Pertanyaannya, apakah itu cukup? Apakah sekadar pelajaran di sekolah bisa jadi solusi fundamental dan berkelanjutan? Kita semua tahu jawabannya. Riset kebencanaan sudah sering menyimpulkan hal yang sama. Lihat saja buktinya: rumah-rumah tersapu, batang kayu besar terseret arus, tanah longsor mengubur warga, desa-desa tenggelam dalam lumpur dan kesedihan.
Ini sejatinya adalah babak lanjutan dari sebuah drama panjang kebijakan yang salah. Sebuah tragedi pilu yang akarnya adalah deforestasi. Ditambah lagi tata ruang yang buruk, bobrok, dan sama sekali tidak memikirkan masa depan.
Bencana seperti ini seringkali berawal dari kebijakan publik yang hanya mengejar pertumbuhan ekonomi, mengabdi pada segelintir elit dan oligarki. Kebijakan yang mengabaikan keberlanjutan ekosistem, ruang hidup generasi mendatang, dan keadilan ekologi.
Prahara di Sumatra saat ini adalah cermin retak pemerintah. Sebuah cermin yang memantulkan pengabaian terhadap keseimbangan alam, ilmu pengetahuan lokal, hak masyarakat adat, dan tentu saja, keadilan sosial.
Deforestasi yang Terstruktur
Penyebab utamanya jelas: deforestasi. Dan ini terjadi secara massif, terstruktur, sudah bertahun-tahun. Data real time dari Forest Watch Indonesia (FWI) mengungkap fakta pahit: setiap 16,12 menit, Indonesia kehilangan hutan seluas 20,2 hektar (2025). Bayangkan itu.
FWI juga memaparkan, dua tahun setelah FoLU Net Sink disahkan, deforestasi justru mencapai 1,93 juta hektare (2021-2023). Padahal, target pengurangan emisi nasional 60% bergantung dari sektor hutan dan lahan ini. Angka 1,93 juta hektar itu sangat besar, bahkan melampaui batas kuota yang ditetapkan Kementerian Kehutanan sendiri.
Jadi, konsep kebijakan iklim yang muluk itu terbukti tak berdampak. Laju kehilangan hutan seperti ini ibarat negara bunuh diri perlahan. Mimpi hutan Indonesia sebagai penopang kontrol iklim tinggal mimpi. Hutan justru jadi korban kebijakan yang salah arah.
Para ahli hidrologi sebenarnya sudah sering mengingatkan. Pola curah hujan ekstrem tak akan menyebabkan banjir bandang sebesar di Sumatra, jika kondisi hutan di hulu masih baik, rimbun, dan terawat.
Nyatanya, benteng terakhir itu rapuh. Hutan-hutan berubah jadi perkebunan monokultur, area pertambangan terbuka, dan jalan logging yang mempercepat aliran air permukaan. Batang-batang kayu besar bekas tebangan yang dihanyutkan banjir, membuka kotak pandora kejahatan ekologis yang bersifat struktural.
Menurut analisis Prayoga (2025), deforestasi ini justru berjalan terencana lewat skema konsesi. Seperti PBPH (Perizinan Berusaha Pemanfaatan Hutan), hutan alam, hutan tanaman, bahkan di daerah yang seharusnya direstorasi ekosistemnya.
Faktanya, deforestasi karena PBPH saja (2021-2023) mencapai 375.368 hektare. Itu seharusnya bisa dicegah jika otoritas tidak gegabah memberi izin. Artinya, kesalahan bukan cuma pada pelaku usaha, tapi terletak pada pemerintah.
Ironisnya, skema perhutanan sosial yang dirancang untuk memberdayakan masyarakat, justru bisa menjadi pisau bermata dua. Konsesi hutan malah mempermulus jalan menuju degradasi. Di sisi lain, ekspansi perkebunan sawit dengan dukungan penuh negara terus terjadi, menembus kawasan hutan melalui pelepasan kawasan.
Artikel Terkait
Brimob Riau Evakuasi Korban Terakhir Banjir Bandang Agam
Ibu Korban Kebakaran Cempaka Baru Pingsan di RS Polri Saat Cari Suami
Bupati Aceh Selatan Disanksi Usai Umrah Saat Wilayahnya Terendam Banjir
Guru dari Jakarta Selatan Ditemukan Tewas dengan Tangan Terikat di Bogor