Deforestasi dan Air Mata Sumatra: Saat Negara Gagal Membangun Kapal Nuh

- Selasa, 09 Desember 2025 | 16:40 WIB
Deforestasi dan Air Mata Sumatra: Saat Negara Gagal Membangun Kapal Nuh

Data Greenomic Indonesia (2004-2017) menunjukkan jutaan hektar hutan berubah jadi sawit. Era Menteri MS Kaban (2004-2009) 600 ribu hektar lenyap. Masa Zulkifli Hasan (2009-2014) menembus 1,64 juta hektar. Lalu Siti Nurbaya (2014-2017), 216 ribu hektar hutan sirna.

Proyek Strategis Nasional (PSN), termasuk food estate, turut memperparah keadaan (Arif, 2025). Rata-rata 32.406 sampai 100.000 hektar hutan hilang per tahun akibat ekspansi sawit (Trase.earth, 2024). Dampaknya luas. International Union for Conservation of Nature melaporkan 193 spesies terancam punah, dengan 750-1.250 orangutan mati setiap tahun karena ancaman ini.

Dalam urusan kehutanan, mengejar keuntungan ekonomi semata ibarat mengejar bayang-bayang. Hilangnya kanopi hutan berarti musnahnya modal alam yang tak ternilai. Modal ekologis berabad-abad yang berfungsi sebagai pelindung alami dari bencana hidrometeorologi menjadi goyah. Nilai jasa lingkungan penyerapan karbon, penahan air, perlindungan keanekaragaman hayati sirna, karena tak pernah dihitung dalam kalkulasi pembangunan nasional.

Negara memberi izin perusakan ekosistem hulu demi untung jangka pendek. Mereka menutup mata, lalu harus membayar 'biaya sosial' banjir bandang yang jauh lebih mahal. Nyawa hilang, desa musnah, infrastruktur hancur. Ruang kehidupan sirna, dan yang tersisa adalah kemiskinan ekologis.

Deforestasi memperlemah daya tahan daerah. Sejarah banjir di Sumatra sejak era kolonial selalu berulang. Pola dan penyebabnya sama, tapi intensitas, volume, dan dampaknya meningkat drastis seiring laju penggundulan hutan. Banjir bukan lagi peristiwa sesekali. Ia telah berubah menjadi ritme periodik yang menghantui, karena negara gagal menghentikan deforestasi.

'Kapal Noah' yang Diperlukan

Di tengah bencana ini, inspirasi dari kisah kepemimpinan ekologi Nabi Nuh layak dihadirkan. Drama kapal Noah memuat ajaran manajemen risiko yang timeless. Tak ada salahnya kita jadikan acuan untuk mitigasi dan adaptasi. Kisah klasik ini termaktub dalam Al-Qur'an, khususnya dalam surat al-A'raf dan Al-Ankabut.

Cerita kapal Noah bukan cuma dongeng religius. Ia adalah metafora perjuangan keadilan ekologis yang terjal. Nabi Nuh mengorganisir umatnya untuk menghadapi perilaku destruktif terhadap alam.

Beberapa kata kunci ekologis muncul dalam tragedi banjir itu. Seperti seruan untuk kesejahteraan sosial dan keadilan ekologis, gambaran tentang masyarakat yang buta akan kerusakan, perilaku eksploitatif yang menjadi penyebab banjir, serta peristiwa bencana itu sendiri sebagai pelajaran tentang mitigasi dan adaptasi.

Banjir zaman Nuh disebabkan karena umatnya merusak tata kelola alam, mengganggu keseimbangan, dan menolak prinsip keberlanjutan. Horrell (2015) dalam "The Bible and The Environment" mendorong pembacaan ulang isu ekologis dalam teks suci. Mengacu pada kerangka pikir Rahman (2009), setiap kisah "Banjir dan Kapal Noah" memiliki struktur moral dan kerangka etis yang kuat.

Kisah itu mengajarkan relasi harmoni antara manusia dan alam. Tak ada yang boleh mendominasi. Etika keseimbangan dan keadilan inilah yang seharusnya menjadi landasan kebijakan negara dalam mengelola sumber daya alam.

Kapal Noah adalah simbol tata kelola ekologi yang cerdas, harmonis, berkelanjutan, dan berkeadilan. Ketika deforestasi tak terbendung, Nuh justru mendesain dan membangun kapalnya jauh sebelum hujan deras mengguyur. Prinsipnya jelas: mencegah jauh lebih urgen daripada menangani.

Nuh membangun kapal dari bahan komitmen politik, ilmu pengetahuan, dan keberanian moral. Mengatasi banjir butuh visi, komitmen, kalkulasi cermat, plus keterampilan teknis.

Banjir di Sumatra sudah terjadi. Tugas kita sekarang adalah mencegahnya terulang. Cukup sudah deforestasi. Tutup semua pintu, sekecil apapun, yang bisa merusak hutan. Jargon melindungi rakyat tak ada artinya jika chainsaw masih terus bersuara di hutan-hutan kita.

Mungkin inilah saatnya kita refleksi bersama. Menanam kembali pohon harapan, membangun tata ruang adaptif berbasis risiko bencana, dan mendorong sistem mitigasi sosial yang berpihak pada kelompok rentan: perempuan, anak-anak, dan masyarakat adat.

Kapal Noah adalah simbol kesiapsiagaan. Indonesia butuh 'kapal Noah' kebangsaannya sendiri. Sebuah kapal yang menyelamatkan seluruh rakyat, bukan cuma segelintir pelaku usaha dan elit. Pada akhirnya, silabus pelajaran menjaga hutan saja tidak akan cukup. Visi kepemimpinan ekologislah kunci keselamatan penduduk bumi yang rawan bencana ini.

Kita butuh pemimpin, aparatur, dan para 'arsitek kebijakan' yang jeli membaca ancaman. Jika tidak ingin banjir bandang terulang, maka jangan lagi menanam 'deforestasi'. Tiba-tiba, dari tengah kesuraman Sumatra, seolah terdengar suara keras bergemuruh: "Mari kita semua takut pada deforestasi."


Maghfur Ahmad. Guru Besar Universitas Islam Negeri KH Abdurrahman Wahid Pekalongan, Jawa Tengah.


Halaman:

Komentar