Kegagalan selama ini seringnya karena aktivitas manusia di DAS berjalan sendiri-sendiri. Kehutanan, perkebunan, pertambangan, pemukiman semua jalan berdasarkan sektornya masing-masing. Padahal, DAS itu melampaui batas kabupaten, kota, bahkan provinsi.
PP 37 sebenarnya sudah mengatur soal kewenangan ini. Jika DAS lintas kabupaten, otoritas perencanaannya ada di gubernur. Kalau lintas provinsi, tangannya ada di pemerintah pusat. Regulasinya sudah ada, tinggal komitmen dan eksekusinya.
Kita harus mulai bicara tentang kewajiban. Bukan soal siapa berhak apa, tapi apa yang bisa kita kontribusikan untuk daerah yang kita tempati ini. Dalam RPDAS, semua punya peran: siapa menanam pohon, siapa menjaga aliran air, siapa memastikan industri tidak merusak ekosistem.
Ego sektoral harus disingkirkan kalau kita sungguh-sungguh ingin menjadikan DAS sebagai rumah bersama. Tempat kita hidup, bekerja, dan mewariskan alam yang baik untuk generasi nanti.
Partisipasi yang Demokratis
Mengarusutamakan pengelolaan DAS tak bisa cuma lewat regulasi. Diperlukan kemauan politik yang kuat, transparansi, dan partisipasi masyarakat yang riil. RPDAS Terpadu harus dibuka untuk publik. Masyarakat adat, komunitas lokal, akademisi, LSM lingkungan semua perlu dilibatkan agar rencana itu mencerminkan kondisi di lapangan dan kebutuhan warga.
Pemerintah, baik pusat maupun daerah, harus memprioritaskan anggaran untuk rehabilitasi hulu DAS, konservasi, dan penataan ruang. Sementara pelaku usaha yang beroperasi di cekungan DAS wajib berkontribusi nyata menjaga ekosistem, bukan sekadar bayar pajak atau dana kompensasi.
Di sisi lain, masyarakat juga harus didorong. Jangan cuma jadi objek bantuan saat bencana, tapi jadi subjek yang aktif merencanakan, memantau, dan merawat DAS mereka sendiri.
Momentum Membenahi Rumah Kita
Banjir bandang dan longsor di Aceh, Sumut, dan Sumbar adalah tragedi yang memilukan. Tapi kalau kita hanya menyebutnya sebagai "peristiwa alam" belaka, kita akan mengulangi kesalahan yang sama.
Sekaranglah waktunya untuk introspeksi kolektif. Memahami bahwa DAS adalah rumah kita bersama. Dan PP 37 sudah memberi peta jalannya: lewat RPDAS Terpadu yang merangkul semua pihak, mengedepankan kebersamaan, bukan ego sektoral.
Kalau kita ingin mencegah tragedi serupa terulang di masa depan, ya, sudah saatnya berhenti saling menyalahkan. Mari bersinergi merawat DAS sebagai nadi ketahanan dan masa depan kita semua.
Semoga "DAS Rumah Kita Bersama" tidak berhenti jadi jargon. Tapi menjadi cara hidup, cara berpikir, dan cara membangun Indonesia yang lebih tangguh dan lestari.
Dr. Ir. Eka W. Soegiri merupakan Anggota Forum DAS Nasional.
Artikel Terkait
Pengadilan Beijing Paksa Malaysia Airlines Bayar Rp 54,6 Miliar ke Keluarga Korban MH370
Hasto Kristiyanto Soroti Krisis Moral di Balik Maraknya Korupsi
Skor Integritas 2025 Tembus 72, tapi KPK: Masih Rentan
Hun Sen: Kesabaran Kami Habis, Serang Semua Titik!