Pada hari itu, mereka berempat datang bersama. Sambil menikmati porsi Mie Aceh yang masih mengepul, mereka duduk di kursi luar warung, berbincang santai. Suasana kekeluargaan itu terasa hangat, mengusir sedikit dinginnya udara Bogor.
Sultan, yang sudah setahun menetap di Kota Hujan untuk bimbingan belajar, bahkan memberi pujian. “Ini pertama kali (ke warung ini), rasanya enak mirip kayak di sana (kampung halaman),”
pungkasnya sambil mengacungkan dua jempol.
Lalu, apa yang mendorong pemilik warung berbuat seperti ini? Lambang, salah seorang pegawai, mencoba menjelaskan niatan bosnya. Rupanya, sang pemilik pernah merasakan sendiri sulitnya jadi anak rantau di masa-masa sulit.
“Karena kalau di Sumatera lagi musibah, pasti banyak anak-anak rantau dari Sumatera Barat, Sumatera Utara, Aceh juga yang kelaparan atau mahasiswanya yang belum dikirim uang dari ibunya. Makanya kami dari bos setuju membuat makanan gratis,”
kata Lambang.
“Karena bos juga pernah mengalami waktu dia masa kuliah. Orang tuanya kadang kena musibah atau nggak punya uang, dia bekerja keras untuk kuliah,”
lanjutnya. Sebuah alasan yang sederhana, datang dari pengalaman pribadi, dan kini dampaknya langsung terasa bagi mereka yang sedang membutuhkan.
Artikel Terkait
Menag di Perayaan Natal: Perbedaan adalah Lukisan Tuhan yang Indah
Jalan Tegar Beriman Tutup Total, CFD Bogor Kembali Ramaikan Minggu Pagi
Batalyon Dhira Brata Kirim 25 Ton Beras untuk Korban Banjir Sumatera
Sukacita Natal Memenuhi SUGBK, Jemaat Sampai Rela Berdesakan di Luar Pagar