"Bos ini dulu juga pernah kuliah dan ngerasain susahnya," jelas Lambang. "Orang tuanya kadang kena musibah atau tak punya uang, sampai-sampai dia harus kerja keras untuk bisa bertahan kuliah. Pengalaman itulah yang sekarang mendorongnya untuk berbagi."
Sejak program ini berjalan, hampir tiap hari selalu ada yang datang. Jumlahnya tak menentu, bisa lima, sepuluh, atau bahkan lima belas orang. Ada pula yang datang hingga dua atau tiga kali. Dan itu tak jadi masalah.
Mereka dipersilakan makan sesukanya, kapanpun. Prinsipnya sederhana: selama bencana masih berdampak pada keluarga mereka di kampung, pintu warung ini terbuka.
"Kondisi di Aceh lagi susah sekarang. Mencari rezeki di sana sangat sulit," tambah Lambang. "Jadi program ini akan terus berjalan sampai keadaan mereka membaik dan kiriman uang dari keluarga sudah lancar lagi."
Di sela-sela makan, tak jarang para mahasiswa itu bercerita. Kisahnya beragam, mulai dari rumah yang hanyut, keluarga yang belum dapat bantuan, hingga kesulitan menghubungi sanak saudara di daerah bencana. Menurut Lambang, dampak banjir bandang kali ini serasa mengingatkan pada dahsyatnya tsunami 2004 silam.
Hingga saat ini, sang bos belum memutuskan kapan program makan gratis ini akan berakhir. Mungkin, selama rasa solidaritas itu masih ada, semangkuk mie hangat akan tetap tersedia untuk mereka yang merindukan rumah di tengah musibah.
Artikel Terkait
Mukjizat di Balik Lumpur: Bayi Dua Bulan Bertahan dari Amukan Galodo
Usulan Koalisi Permanen Bahlil Disebut Serangan Balik untuk Cak Imin
Rerie MPR: Kekerasan pada Perempuan adalah Ancaman bagi Masa Depan Bangsa
Kader Golkar Bogor Kumpulkan Rp 250 Juta untuk Korban Bencana Sumatera