Amplop Kebahagiaan Bunda Lina: Merajut Harapan di Asrama Penuh Cerita

- Jumat, 05 Desember 2025 | 16:25 WIB
Amplop Kebahagiaan Bunda Lina: Merajut Harapan di Asrama Penuh Cerita

Jadwalnya pun unik. Dua hari menginap di asrama, satu hari kerja penuh, lalu berjaga sampai pagi. Liburan? Seringkali habis untuk urusan anak-anak yang butuh perhatian. “Walaupun memang banyak hal berubah. Kadang dua hari tidak bertemu suami. Tapi beliau mendukung karena tahu saya senang dengan anak,” akunya.

Kerja ini juga soal kekompakan tim. “Jadi akhirnya ketika itu tidak dilakukan bersama oleh orang dewasa, pembentukan karakter tidak jalan,” tegasnya.

Perlahan, perubahan itu terlihat. Anak yang dulu menunduk, kini menyapa dengan ramah. Yang wajahnya sinis, belajar tersenyum. Lina ingat satu siswi yang awalnya sangat dingin enggan menyapa, nada bicaranya datar. Segalanya berubah setelah Lina memuji kerapian kamarnya.

“Besoknya dia mulai menyapa. Hari ini sudah memeluk,” katanya tersenyum. Rupanya, ia berasal dari latar belakang di mana apresiasi adalah barang langka.

Tak hanya di asrama putri. Ada cerita tentang seorang anak laki-laki yang ketahuan merokok pelanggaran yang bisa berujung dikeluarkan. Tapi sekolah memilih memberi kesempatan. “Diberikanlah gitar dan mengganti (keinginan merokok) dengan permen. Rasa percaya dirinya muncul dan rokok ditinggalkan,” jelas Lina.

Isu pertemanan adalah menu harian. Malam-malam jaga sering diisi antrean anak yang hanya ingin menangis dan didengar. Validasi perasaan hal sepele yang justru jarang mereka dapat di rumah.

“Yang mereka butuhkan itu sederhana. Dipeluk, didengar, dihargai. Mereka ingin merasa aman dan diakui,” ujarnya.

Dari obrolan demi obrolan, benang merahnya sama: kekosongan kasih sayang. Sebagian besar datang dari keluarga berkonflik, kehilangan figur ibu, atau diasuh oleh orang tua yang sibuk bekerja. Maka, bagi Lina, sekolah ini lebih dari sekadar tempat belajar. Ini adalah ruang pemulihan.

“Kalau saya tanya, di rumah dipeluk seperti ini atau tidak? Mereka jawab ingin, tapi tidak pernah,” tutupnya. Di ruang asrama yang sederhana itulah, pelukan dan amplop-amplop kecil itu bicara lebih keras daripada kata-kata.


Halaman:

Komentar