Ruangan itu ramai dengan diskusi serius. Kelompok I Badan Pengkajian MPR RI baru saja menggelar Focus Group Discussion, mengusung tema besar: 'Kedaulatan Rakyat Perspektif Demokrasi Pancasila'. Ini bukan sekadar acara biasa, melainkan bagian dari upaya mendalam untuk mengukur denyut nadi demokrasi kita dan memikirkan ulang arah sistem ketatanegaraan.
Acara yang dipimpin langsung oleh Prof. Dr. Yasonna H. Laoly itu menghadirkan tiga pakar dengan latar belakang berbeda. Hadir Prof. Burhanuddin Muhtadi, ahli politik dari UIN Jakarta yang juga pendiri Indikator Politik Indonesia. Lalu ada Mohammad Novrizal, pakar hukum tata negara dari UI, dan Dr. Rasminto, ahli human studies dari Universitas Islam 45 Bekasi. Kombinasi yang menarik.
Yasonna, membuka diskusi, langsung menyinggung soal tren yang mengkhawatirkan. Menurutnya, kualitas demokrasi nasional kita sedang menurun. Ia menyoroti data riset, survei, dan dinamika politik beberapa tahun belakangan yang jadi latar belakangnya. Persoalan utamanya, kata dia, bersumber dari proses rekrutmen politik dalam pemilu entah itu pilpres, pilkada, atau pemilihan legislatif.
Ujarnya dalam keterangan tertulis, Kamis lalu. Ia juga menekankan, kebebasan berpendapat yang tetap taat hukum dan mekanisme check and balances antara parlemen dan pemerintah harus diperkuat. Tanpa itu, sulit.
sambungnya. Di sisi lain, Yasonna mengamati fenomena unik: suara masyarakat kini baru didengar saat keluhannya viral. "Hal ini perlu dikelola dengan baik," katanya, agar bisa jadi masukan langsung bagi DPR dan pemerintah.
Tak cuma itu, FGD ini juga menyentuh soal perlunya kajian mendalam terhadap sistem ketatanegaraan, termasuk evaluasi terhadap UUD 1945. Setelah lima kali pemilu pasca reformasi, mestinya demokrasi kita sudah matang, baik secara prosedur maupun substansi. Namun kenyataannya? Ternyata masih butuh koreksi dan penguatan yang tidak sedikit.
Pendapat serupa bahkan lebih keras disampaikan Burhanuddin Muhtadi. Ia menyatakan dengan tegas bahwa kualitas demokrasi Indonesia anjlok secara signifikan belakangan ini. Data dari lembaga pemeringkat global seperti Freedom House dan The Economist Intelligence Unit jadi buktinya, yang menempatkan Indonesia dalam kategori electoral autocracy. Penurunan paling tajam sejak reformasi.
jelasnya. Menurut Burhanuddin, akar masalahnya bukan cuma budaya politik, tapi melemahnya prinsip checks and balances secara nyata. Akuntabilitas horizontal antar lembaga negara kini jauh berkurang.
Artikel Terkait
Bahlil Balas Cak Imin: Tobat Nasuha? Kita Semua Perlu Evaluasi Diri
Jembatan Pandan Kembali Dibuka, Akses Sibolga-Tapteng Mulai Pulih
BMKG Siagakan Daerah Ini, Waspada Banjir dan Hujan Ekstrem Awal Desember
Pigai Soroti Kemiskinan dan Trafficking Usai Tonton Film Pangku