Akhir pekan lalu, di sebuah workshop kehumasan di Cibubur, seorang peserta mengajukan pertanyaan yang cukup menggelitik. Dia memulai dengan permintaan maaf, khawatir pertanyaannya agak melenceng dari tema yang saya bawakan. Tapi justru itulah yang bikin diskusi jadi hidup.
"Begini, Pak," katanya. "Bagaimana caranya kami di humas kementerian bisa merespons dengan cepat ketika ada sentimen negatif yang tiba-tiba diviralkan netizen? Soalnya, kami sering terlambat."
Pertanyaannya langsung menyentuh akar masalah. Ya, birokrasi. Di lembaga pemerintah, setiap pernyataan resmi harus melewati verifikasi berlapis. Dari penulis naskah, kepala seksi, hingga minimal kepala biro. Prosedurnya wajib diikuti.
Namun begitu, konsekuensinya jelas. Saat siaran pers akhirnya keluar, isu negatifnya sudah menjalar kemana-mana. Viralnya jadi makin menjadi. Di sinilah dilemanya: patuh pada prosedur tapi citra terlanjur anjlok, atau memangkas birokrasi demi kecepatan tapi berisiko pada akurasi?
Di era digital sekarang, kecepatan informasi sungguh luar biasa. Tim humas, baik di pemerintah maupun swasta, dituntut untuk gesit. Kalah cepat sedikit saja, reputasi bisa langsung terpuruk.
Tapi tunggu dulu. Kecepatan bukan segalanya. Menurut pengalaman kami di media, akurasi dan ketepatan informasi tetaplah yang utama. Kami memang dikejar deadline, tapi berita yang kami sajikan harus sudah melalui proses pengecekan fakta yang ketat.
Di redaksi, sebuah artikel biasa melewati banyak tangan. Reporter, asisten redaktur, redaktur, hingga redaktur bahasa. Baru setelah dipastikan akurat dan aman dari segi hukum, berita itu naik atau tayang.
Lalu, dengan proses berlapis seperti itu, bisakah kita tetap menjadi yang tercepat? Jawabannya, bisa saja. Asal ada koordinasi yang solid dan tim yang terbiasa bekerja cepat sekaligus cermat. Prinsip yang sama sebenarnya bisa diterapkan di unit humas manapun.
Gagasan untuk Tim Reaksi Cepat
Nah, dalam workshop itu saya mengusulkan sebuah ide. Bagaimana kalau di dalam struktur humas dibentuk unit khusus? Semacam 'tim khusus' layaknya di kepolisian. Tugas mereka spesifik: memantau isu, merespons, hingga mengevaluasi setiap sentimen negatif yang muncul. Dalam ilmu komunikasi, ini disebut manajemen krisis.
Hampir semua perusahaan swasta besar sudah punya protokol semacam ini. Beberapa lembaga pemerintah juga mulai menerapkan. Tujuannya sederhana: agar koordinasi tidak kacau saat krisis datang, sehingga respons yang diberikan tepat dan menjaga kepercayaan publik.
Artikel Terkait
Gelombang Solidaritas Cilegon: Bantuan Darurat Berangkat ke Sumatera via Darat dan Laut
Badung Luncurkan Insentif Rp 10 Juta bagi Warga yang Cepat Lapor Kematian
DPR Desak Kemenkes Bentuk Tim Khusus Antisipasi Wabah Pascabencana di Sumatera
Minimarket Yayasan Yatim Piatu di Bogor Dibobol, Kerugian Capai Rp 5 Juta