Suasana Beirut akhir pekan lalu kembali pecah oleh dentuman. Pesawat tempur Israel melancarkan serangan udara ke ibu kota Lebanon itu yang pertama sejak beberapa bulan terakhir. Menurut klaim pemerintah Israel, operasi ini ditargetkan secara spesifik untuk menyingkirkan Haytham Ali Tabtabai, sang kepala staf militer Hezbollah.
Serangan itu menghantam sebuah apartemen di kawasan selatan Beirut yang padat penduduk. Akibatnya, setidaknya lima orang tewas dan 28 lainnya luka-luka berdasarkan data otoritas Lebanon. Insiden ini seolah menjadi puncak gunung es dari rentetan pemboman sepihak Israel di Lebanon selatan sepanjang pekan kemarin. Pejabat kesehatan setempat menyebut lebih dari selusin warga sipil menjadi korban.
Namun begitu, warga lokal justru membantah keras narasi yang menyebut daerah mereka sebagai sarang persenjataan. "Ini kawasan permukiman sipil," tegas seorang warga yang enggan disebut namanya. Lapangan olahraga yang biasa dipakai anak-anak muda setempat, katanya, kini rata dengan tanah.
Penduduk lain menambahkan, "Kami selalu main di sana. Isu bahwa ini markas Hamas itu jelas bohong besar."
Bantahan juga datang dari sayap militer Hezbollah kelompok yang oleh sejumlah negara seperti AS dan Jerman diklasifikasikan sebagai organisasi teroris. Mereka menampik semua tuduhan Israel.
Sami Halabi, Direktur Kebijakan di The Alternative Policy Institute Beirut, menggambarkan situasi ini dengan nada pesimistis. "Setahun sudah berlalu, yang tersisa dari gencatan senjata hanyalah serpihan," ujarnya. Menurut analisnya, perjanjian yang rapuh itu bisa bertahan hanya karena semua pihak masih butuh jeda untuk kepentingan masing-masing. Tahun depan, prediksinya, akan menjadi penentu nasib: apakah Lebanon berhasil menyelesaikan akar masalah, atau gencatan senjata ambruk dan negara ini kembali terjerumus dalam perang terbuka.
Jalan Panjang Menuju Gencatan Senjata
Semua ini berawal dari konflik yang meledak pada 8 Oktober 2023, sehari setelah serangan Hamas ke Israel. Hezbollah lantas merespons dengan membombardir Israel utara sebagai bentuk solidaritas. Baku tembak selama setahun itu memaksa sekitar 60.000 warga Israel dan 100.000 warga Lebanon mengungsi dari wilayah perbatasan. Sampai sekarang, sebagian besar dari mereka belum berani pulang. Di sisi Lebanon, reruntuhan dan ancaman serangan udara membuat kepulangan warga sipil hampir mustahil.
Puncak ketegangan terjadi pada 30 September 2024 ketika konflik berkembang menjadi perang dua bulan di Lebanon, lengkap dengan invasi darat Israel. Korban jiwa terus berjatuhan. Data Kementerian Kesehatan Lebanon mencatat lebih dari 4.200 orang tewas hingga 9 Januari 2025 mayoritas adalah warga sipil Lebanon. Bank Dunia memperkirakan biaya rekonstruksi mencapai angka fantastis: USD 11 miliar.
Memang, Israel berhasil melemahkan Hezbollah dengan menewaskan sejumlah komandan dan melumpuhkan kapasitas militernya. Tapi kelompok itu tetaplah bagian inti dari "poros perlawanan" Iran yang menyerukan penghancuran AS dan Israel. Israel sendiri menuduh Hezbollah mulai bangkit dan menimbun senjata kembali.
Artikel Terkait
Operasi Zebra 2025 Bukukan 827 Ribu Pelanggar, Teguran Langsung Jadi Andalan
Truk Angkut Tabung Gas Terguling di Jagorawi Diduga karena Kelalaian Sopir
200 Calon PMI Bersiap Isi Pasar Kerja Eropa Timur dengan Keahlian Las Spesial
Sumut Berduka: 13 Nyawa Melayang Diterjang Banjir dan Longsor