Kaca Mata Elit dan Mata Air Rakyat
Oleh: Makdang Edi (Suryadi Z)
Di Indonesia, istilah "perempuan pedalaman" seringkali hanya menjadi bahan pembicaraan di forum-forum elit. Ruangan biasanya hening sejenak, lalu bergema dengan tepuk tangan dan jargon-jargon seperti pemberdayaan perempuan, kebijakan inklusif, hingga digitalisasi desa. Namun, di balik kata-kata indah tersebut, seringkali yang berbicara adalah mereka yang belum pernah merasakan hidup sebenarnya di pedalaman.
Realitas Perempuan Pedalaman: Bukan Sekadar Objek Program
Mari kita tinggalkan sejenak ruang seminar dan menyelami kehidupan nyata perempuan pedalaman. Sebelum fajar menyingsing, ia sudah menyalakan tungku, menyiapkan air, dan berjalan jauh untuk mengambil kayu bakar. Di sela kesibukannya, ia masih menyempatkan waktu mengajari anaknya membaca dengan buku bekas, tanpa mengenal istilah kurikulum merdeka.
Ia mungkin tidak paham teori gender mainstreaming, namun ia mengerti makna kesetaraan saat harus menggantikan suaminya mencangkul di ladang. Ia tidak mengenal literasi keuangan digital, namun ia pandai menabung di celengan bambu untuk masa depan anaknya. Baginya, pendidikan bukan sekadar ijazah, melainkan jalan untuk bertahan hidup dengan penuh martabat.
Kesenjangan Kebijakan dan Realitas di Lapangan
Sayangnya, banyak program pemerintah yang dirancang di gedung perkotaan tanpa menyentuh inti permasalahan di lapangan. Banyak lembaga datang dengan proposal dan kamera, bukan dengan ketulusan hati untuk mendengarkan. Mereka memberikan pelatihan, namun jarang kembali untuk mengevaluasi hasilnya. Kesuksesan hanya dicatat dalam laporan, sementara perempuan pedalaman kembali ke rutinitasnya dengan pertanyaan besar: apa yang sebenarnya berubah?
Koperasi Rakyat: Dari Semangat Gotong Royong Menjadi Birokrasi
Koperasi seharusnya lahir dari semangat kebersamaan dan tolong-menolong. Namun dalam praktiknya, koperasi modern seringkali berubah menjadi birokrasi baru yang mengulangi pola kapitalisme. Koperasi dibentuk atas nama rakyat, namun jarang yang benar-benar dikelola oleh dan untuk rakyat.
Para pengurus berbicara tentang saham anggota, sementara anggota sendiri tidak memahami nilainya. Rapat tahunan berubah menjadi formalitas belaka, bukan musyawarah murni. Banyak koperasi gagal bukan karena kurang modal, tetapi karena hilangnya kepercayaan di antara anggotanya.
Artikel Terkait
Profil Lengkap dr. Tifa: Riwayat Pendidikan UGM, Kasus Ijazah Jokowi, dan Kontroversi
Korban Pembunuhan di Tol Jagorawi KM 30 Bogor Teridentifikasi Ujang Adiwijaya, Driver Online Asal Depok
Job Hugging: Penyebab, Dampak Negatif, dan Solusi Mengatasinya
AI-RAN Research Center Surabaya: IOH, Nokia & NVIDIA Pacu Ekosistem AI Indonesia