Mengembalikan Marwah Politik: Memuliakan Rakyat Sebagai Inti Kekuasaan
Politik pada hakikatnya adalah sarana untuk mengatur kepentingan bersama dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Gagasan ini selaras dengan pemikiran Aristoteles yang menyebut manusia sebagai makhluk politik yang hidup bernegara untuk mencapai kebaikan bersama. Dalam praktiknya, politik modern seharusnya tidak hanya berfokus pada perebutan kekuasaan, tetapi juga pada tanggung jawab moral untuk menciptakan keadilan sosial. Sayangnya, realitas yang sering kita jumpai justru menunjukkan banyaknya penyimpangan, seperti manipulasi kebijakan dan dominasi kelompok oligarki yang mengikis kedaulatan rakyat.
Rakyat adalah pemegang legitimasi utama dalam kekuasaan. Konstitusi di negara demokrasi menegaskan bahwa kedaulatan berada di tangan rakyat, yang diwakilkan melalui para wakil mereka. Filosof John Locke mengemukakan bahwa legitimasi pemerintahan harus berdasarkan persetujuan dari yang diperintah. Dengan kata lain, mengabaikan kepentingan rakyat berarti mengkhianati fondasi kekuasaan itu sendiri.
Kamuflase dalam politik sering kali muncul dalam bentuk retorika menarik tanpa realisasi yang konkret. Janji-janji kampanye tidak diimbangi dengan tindakan nyata setelah kekuasaan diraih. Menurut ilmuwan sosial Pierre Bourdieu, hal ini merupakan bentuk kekuatan simbolik, di mana elite menciptakan ilusi melalui narasi dan simbol tanpa memberikan perubahan yang substansial. Masyarakat pun disuguhi citra kepemimpinan yang populis, sementara kebijakan yang dibuat justru menguntungkan segelintir elite.
Fenomena ini berkaitan erat dengan konsep state capture, yaitu situasi ketika institusi negara dikuasai oleh kelompok tertentu untuk mengarahkan kebijakan publik demi keuntungan pribadi. Inilah yang disebut sebagai oligarki, di mana sekelompok kecil individu mengendalikan sumber daya dan kebijakan negara. Jeffrey Winters dalam bukunya Oligarchy menegaskan bahwa kelompok oligarki selalu berusaha mempertahankan kekayaan dan pengaruh politik mereka melalui kontrol terhadap lembaga-lembaga negara.
Ketika oligarki bersatu dengan kekuasaan politik, rakyatlah yang menjadi korban. Kebijakan ekonomi lebih banyak menguntungkan kelompok tertentu dan mengabaikan kepentingan masyarakat luas. Hal ini bertolak belakang dengan prinsip keadilan sosial yang digagas John Rawls, yang menyatakan bahwa institusi sosial harus dirancang untuk memberikan manfaat terbesar bagi mereka yang paling kurang beruntung. Politik kehilangan rohnya ketika rakyat tidak lagi menjadi prioritas utama.
Pemimpin yang sejati adalah mereka yang menempatkan rakyat pada posisi terhormat. Dalam konteks Indonesia, prinsip ini sejalan dengan ajaran Ki Hajar Dewantara, yaitu ing ngarso sung tulodo, ing madyo mangun karso, tut wuri handayani. Seorang pemimpin harus mampu memberikan teladan, membangkitkan semangat partisipasi, dan mendorong kemajuan rakyat. Politik yang baik tidak hanya dinilai dari prosedurnya, tetapi juga dari hasil nyata yang dirasakan masyarakat.
Artikel Terkait
Ledakan SMAN 72 Jakarta: ABH Belajar Rakitan Bom dari Media Sosial, Polri Blokir Situs
Mendagri Tito Karnavian Terima Gelar Adat Aceh, Ini Makna & Artinya
Prabowo ke Australia: Motif Alutsista & Kaitan Mengejutkan dengan Isu Gibran
Mahfud MD Bantah Klaim Ijazah Jokowi: Fakta dan Klarifikasi Lengkap