Gas Berlimpah, Keadilan yang Gelap: Ironi Negeri Penopang Energi

- Selasa, 30 Desember 2025 | 05:50 WIB
Gas Berlimpah, Keadilan yang Gelap: Ironi Negeri Penopang Energi

Mereka Telah Banyak Memberi, Alam, dan Kesetiaan Jangan Dikhianati

Ini bukan soal belas kasihan. Sama sekali bukan. Wilayah ini, tanah dan rakyatnya, selama puluhan tahun menjadi penopang utama negeri. Gas alamnya, minyaknya, hutan dan lautnya yang kaya semua mengalir deras, menghidupkan industri dan mengisi pundi-pundi negara. Bahkan kesetiaan politik dan pengorbanan sosial mereka pun tak ternilai harganya. Tapi ada ironi pahit yang terus berulang: semakin banyak mereka memberi, semakin dalam pula pengkhianatan yang mereka rasakan.

Ambil contoh gas alam. Ladang-ladangnya yang legendaris itu telah menjadi tulang punggung energi nasional, menghasilkan miliaran dolar devisa. Namun, coba tengok kondisi di lapangan. Ketika bencana melanda, respons seringkali lambat. Infrastruktur dasar masih tertinggal. Kemiskinan terasa nyata, sementara kerusakan lingkungan menjadi saksi bisu. Rakyat di sana menyaksikan energi dari tanahnya menerangi wilayah lain, sementara mereka sendiri kerap berada dalam gelap ketidakadilan.

Memang, kontribusi mereka tak cuma gas. Hutan mereka adalah benteng ekologi terakhir di pulau yang rentan bencana. Lautnya yang strategis menjadi jalur perdagangan dunia dan sumber ikan melimpah. Tanahnya subur, menghasilkan komoditas andalan. Sayangnya, pola pengelolaannya nyaris seragam: ekstraksi masif, keuntungan mengalir ke pusat, sementara dampaknya ditinggalkan begitu saja. Korporasi datang dengan janji muluk pembangunan, tapi yang tertinggal justru konflik lahan, pencemaran, dan ekonomi yang rentan.

Di sisi lain, persoalannya jelas lebih rumit dari sekadar keserakahan korporasi. Relasi kuasa yang timpanglah yang memungkinkan penghisapan ini berlangsung lama. Dalam banyak kasus, negara justru absen sebagai pelindung. Perizinan digulirkan tanpa melibatkan masyarakat setempat secara berarti. Dampak lingkungan sering dianggap remeh. Alasan "kepentingan nasional" yang elitis kerap mengalahkan suara dan hak-hak lokal. Inilah pengkhianatan yang bersifat struktural terlembagakan melalui kebijakan.

Sejarah panjang mereka mempertegas luka ini. Dari masa revolusi hingga konflik yang berlarut, loyalitas dan pengorbanan rakyatnya tak perlu diragukan lagi. Perdamaian yang akhirnya diraih seharusnya menjadi babak baru menuju keadilan. Tapi kenyataannya? Perdamaian tanpa pembenaran ekonomi hanya memindahkan ketimpangan dari medan perang ke meja kebijakan.


Halaman:

Komentar