Di era modern, banyak masjid berdiri dengan arsitektur megah, kubah berlapis emas, lantai marmer, dan fasilitas pendingin ruangan. Namun sayangnya, kemegahan fisik ini sering tidak diimbangi dengan keterbukaan fungsi.
Banyak masjid yang justru menutup pintunya rapat-rapat setelah waktu salat usai. Anak muda yang ingin beriktikaf kerap dilarang, musafir yang hendak beristirahat diusir, dan orang miskin enggan mendekat kecuali pada waktu salat. Fenomena ini menimbulkan pertanyaan: apakah masjid kini menjadi milik segelintir orang tertentu?
Ironisnya, pembangunan masjid kebanyakan dibiayai dari urunan umat berbagai kalangan - dari pedagang kecil, petani, hingga donatur biasa yang berharap masjid menjadi tempat yang hidup dan menenangkan.
Menghadirkan Kembali Roh Masjid
Masjid seharusnya menjadi taman pertumbuhan peradaban dan kesejukan jiwa, bukan sekadar bangunan megah yang hampa makna. Tugas pengurus masjid tidak hanya menjaga kebersihan dan jadwal ibadah, tetapi lebih penting lagi menjaga nilai kemanusiaan dan kasih sayang di dalamnya.
Seorang musafir yang tidur di teras masjid tidak akan mencoreng kehormatan rumah Allah. Justru kehadirannya mengingatkan hakikat masjid sebagai tempat singgah bagi siapa saja yang ingin mendekatkan diri kepada Tuhan.
Di tengah kemajuan teknologi dan hiburan modern, masjid perlu beradaptasi dengan tetap menjaga nilai-nilai dasar: ramah anak muda, terbuka bagi musafir, nyaman untuk lansia, dan aman untuk semua kalangan.
Mari bayangkan jika suatu hari ada orang kelelahan tertidur di teras masjid, yang menyambutnya bukan pentungan atau tendangan, melainkan senyum tulus dan segelas air hangat. Di situlah terwujud keindahan Islam yang sesungguhnya - rahmatan lil 'alamin.
Artikel Terkait
Orang Tua Pelaku Serangan Metro Taipei Berlutut dan Minta Maaf
Gus Aam Serukan PBNU Teguh Hadapi Tekanan, Tolak Musyawarah Kubro
Kuota Angkutan Motor Gratis KAI Masih Longgar, Baru 41% yang Terisi
Kalbar Siapkan Diri Jadi Tuan Rumah Pelatihan Kepemimpinan Nasional