Dari total biaya tersebut, sekitar 75 persen dibiayai oleh China Development Bank (CDB), sementara sisanya berasal dari modal para pemegang saham, termasuk PT Kereta Api Indonesia (KAI), Wijaya Karya, PTPN I, dan Jasa Marga.
Perbedaan besar antara nilai awal dan realisasi proyek ini sebelumnya telah memunculkan berbagai dugaan markup dan penyimpangan keuangan, yang hingga kini belum mendapatkan kejelasan dari pihak berwenang.
Sejumlah pengamat juga menilai, KPK seharusnya tidak ragu menelusuri dugaan penyimpangan tersebut, termasuk kemungkinan keterlibatan pejabat tinggi pemerintahan dan tokoh politik yang terlibat dalam proses tender maupun restrukturisasi utang proyek Whoosh.
Kasus ini kembali menjadi sorotan publik setelah Mahfud MD, mantan Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan, mengungkapkan bahwa ia telah menyerahkan sejumlah data dugaan korupsi Whoosh ke KPK. Namun, lembaga antirasuah itu dan Mahfud justru saling melempar tanggung jawab terkait tindak lanjut laporan tersebut.
Dengan meningkatnya tekanan publik, banyak pihak kini mendesak agar KPK menunjukkan independensinya dan tidak terpengaruh oleh kepentingan politik dalam menegakkan hukum.
"Kalau KPK terus diam, publik akan menilai lembaga ini bukan lagi penjaga keadilan, tapi alat kekuasaan," tutup Hari Purwanto.
Artikel Terkait
Prabowo Beri Sinyal Tegas ke Kepala Daerah Papua: Kerja atau Copot
GMNI Pecat Kader karena Ujaran Rasis Terhadap Suku Sunda
Membedah Kesalahan: Mengkritik Penguasa Bukanlah Ghibah
Di Tengah Bencana, Jakarta Tegas Tolak Bantuan Asing, Aceh Berteriak Minta Tolong