Proyek Whoosh sejak awal diwarnai keputusan kontroversial. Presiden Joko Widodo menerbitkan Perpres pada 2015 yang menyetujui proposal kereta cepat dari China, bukan Jepang, dengan skema business to business yang melibatkan konsorsium BUMN.
Kala itu, Menteri Perhubungan Ignasius Jonan diketahui menentang pembangunan kereta cepat dengan alasan kelayakan yang dipertanyakan dan prospek keuntungan yang tidak jelas. Namun, groundbreaking tetap dilakukan pada 2016 dengan anggaran ditetapkan sebesar 6,071 miliar Dolar AS.
Pembiayaan Overrun dan Jebakan Utang
Dalam perjalanannya, proyek ini mengalami pembengkakan biaya (overrun) akibat fluktuasi nilai kurs, yang menimbulkan selisih pembiayaan sebesar Rp 21,4 triliun.
"Ini jelas menyulitkan PT KAI dan ketua konsorsium yang menanggung beban. Konsorsium akhirnya berbagi beban 25 persen, 2,3 triliun, 2,1 triliun sisanya pinjaman China Development Bank 16 triliun. Jebakan utang membuat akumulasi utang menjadi sangat besar," kritik Handi.
Jaminan APBN dan Beban Negara
Beban ini akhirnya berujung pada APBN. China meminta jaminan pembayaran dari APBN, yang berarti jika PT KAI gagal bayar, pemerintah harus menyuntikkan Modal Penyertaan Negara (PMN) sebesar 9,5 miliar Dolar AS.
"Jadi ini menunjukkan bagaimana proses transaksi didesain sedemikian rupa 'memaksa dengan skema negara'. Tentu saja sebagai kreditur, beban akhirnya dibebankan pada PT KAI," tutup Handi.
Artikel Terkait
Billie Eilish Berhadapan dengan Miliarder AS, Tegaskan Dukungan untuk Palestina Tak Bisa Ditawar
Sjafrie Siap Berantas Pengkhianat di Balik Tambang Indonesia
UIKA Championship 2025 Sukses Digelar, Siap Naik Kelas Jadi Ajang Internasional
Cak Imin: Banjir Sumatera Alarm Keras Kelalaian Kita pada Alam