Oligarki Tambang Maluku Utara: Fakta di Balik Kekuasaan Gubernur Sherly Tjoanda
Oleh Julfikar Sangaji, Dinamisator JATAM Maluku Utara
“Institusi politik yang inklusif menciptakan pembangunan, sementara institusi yang ekstraktif hanya menghasilkan kekuasaan yang berputar di antara elit.” Daron Acemoglu & James A. Robinson, Why Nations Fail (2012)
Gubernur Maluku Utara, Sherly Tjoanda, sering tampil dengan citra pemimpin yang ramah dan pro-rakyat di media sosial. Namun, di balik citra tersebut, terdapat realitas kelam tentang praktik oligarki tambang yang menguasai sumber daya alam daerah. Sherly Tjoanda menjadi contoh nyata elite ekonomi yang beralih menjadi elite politik, menggunakan jabatannya untuk memperkuat kontrol atas tambang dan menguntungkan keluarganya.
Demokrasi Maluku Utara Dikuasai Modal Besar
Demokrasi di Maluku Utara terancam oleh kendali segelintir elite dengan modal besar, jaringan politik kuat, dan kepemilikan sumber daya strategis. Rakyat kehilangan perwakilan sejati, sementara kekuasaan daerah dikuasai oleh kepentingan korporasi.
Berdasarkan data Minerba One Data Indonesia (MODI) per 29 September 2025, Sherly Tjoanda memegang 71% saham PT Karya Wijaya, perusahaan tambang nikel dengan dua konsesi di Maluku Utara. Tiga anaknya masing-masing memegang 8% saham, sehingga seluruh kendali perusahaan berada di tangan keluarga gubernur.
Konsesi pertama seluas 500 hektare berada di Pulau Gebe, di kawasan hutan produksi terbatas. Konsesi kedua di Halmahera Tengah dan Timur seluas 1.145 hektare, dengan izin yang dikeluarkan hanya 41 hari setelah Sherly memenangkan Pilkada. Fakta ini memunculkan pertanyaan tentang integritas proses hukum dan adanya kolusi antara kekuasaan dan modal.
PT Karya Wijaya juga diduga beroperasi tanpa status Clean and Clear (CnC) dan izin Persetujuan Penggunaan Kawasan Hutan (PPKH). Meski Satgas Penertiban Kawasan Hutan telah turun ke lokasi, perusahaan ini tetap beroperasi tanpa tindakan hukum.
Dalam rapat Komisi IV DPR RI pada 23 September 2025 di Ternate, dugaan pelanggaran PT Karya Wijaya sempat disoroti. Namun, benturan kepentingan Sherly Tjoanda sebagai gubernur sekaligus pemilik saham mayoritas tidak ditindaklanjuti. Hal ini melanggar prinsip good governance dan etika pemerintahan.
Artikel Terkait
Vape Berisi Obat Bius Senilai Rp 17 Miliar Digerebek Polisi di Medan
Usia 16 Tahun Jadi Batas Buka Akun Media Sosial Berisiko Tinggi
Kasus Pemerkosaan Sopir Online Bongkar Rantai Pemasok Sabu
Ribuan Kayu Bersertifikat Terdampar di Lampung, Kemenhut Bantah Kaitannya dengan Banjir