Buzzer Bayaran di Balik Kabinet: Siapa Dalangnya?

- Kamis, 23 Oktober 2025 | 11:25 WIB
Buzzer Bayaran di Balik Kabinet: Siapa Dalangnya?

Budaya Feodal dan Subkultur Pujian

Disebutkan bahwa watak pejabat di Indonesia masih penuh dengan makhluk feodal. Budaya puji-memuji dan pembohongan telah menjadi subkultur yang mendarah daging dan menjadi watak kejumudannya.

"Berkembang biak buzzer tikus, jelas tidak mengenal etika, moral, baik dan buruk apalagi soal kejujuran dan keadilan. Yang penting bisa merampok dengan cara apa pun," katanya.

Perbandingan dengan Era Sebelumnya dan Kekhawatiran Masa Depan

Sutoyo memberikan gambaran rapat kabinet yang dianggapnya sangat jelas menunjukkan fenomena ini. "Para menteri jegigisan kayaknya baru rapat RW," ujarnya, mengilustrasikan suasana yang tidak profesional.

Ia membandingkan dengan era Presiden Soeharto, yang menurutnya menteri dengan karakter seperti itu tidak akan bisa masuk kabinet. "Celaka Indonesia bisa menjadi ternak buzzer tikus bisa mereproduksi menteri seperti ini secara masal masuk kabinet Merah Putih," ungkap Sutoyo.

Ia menambahkan, "Kecelakaan sejak induk buzzer tikusnya 10 tahun sebagai kepala negara, semua buta nilai kebajikan dan diperparah buta sejarah, hidupnya hanya di tempat oleh tikus raksasa dari luar dirinya."

Kesimpulan: Negara dalam Bayangan Semu

Sutoyo menyimpulkan bahwa wajar jika negara ini terjebak dalam populisme tanpa menghasilkan peradaban kesetaraan dan keadilan. Hal ini hanya melahirkan "euforia palsu" dan tokoh-tokoh yang lahir dari dukungan buzzer dan follower tikus, tanpa ketajaman ideologis dan pemahaman historis.

"Kabinet Merah Putih seperti berjalan di atas bayangan semu, semua tenggelam dalam kegelapan, kebohongan dan tipuan dan berjalan tanpa arah berbasis nilai nilai sejarah dan ideologi," tambah Sutoyo.

Di akhir keterangannya, ia menyatakan bahwa di alam yang dikendalikan pejabat bermental buzzer tikus, kondisi mental bangsa dan paradigma elite politik rusak parah. Mereka tampil sekadar bisa mempesona dengan kepalsuan, manipulatif, dan kepentingan popularitas semata.


Halaman:

Komentar